Home Blog Page 86

Distinguished Buzz at Dragonfly

0

Themed “The Final Thursday Industrie-Red Carpet Affair,” Dragonfly threw a spectacular bash last Thursday night presented DJ Jayo and DJ Rama as well as fashion show by Jakarta’s socialites.

The idea of inviting a number of socialites to stage at the party is a reflection of Dragonfly as a nest for sociable character people who appreciate the art of living, according to Amanda Putri, the club’s marketing and promotion manager. Pointing at the crowd, she exclaimed, “It’s another one of a kind happening event!”

Indeed, socializing with people from different walks of life accompanied by clubby soundtrack of funky house put the crowd in a jovial mood. The Thursday night’s event was interesting in a way that the club designed the party to fit those whose career are in the field of industry like that of fashion, law, music, telecommunication, banking, oil and gas, to name a few.

Nevertheless, quite a few guests from non-industrial career background were seen at the event owing to the club’s hot spot. “Spun by talented DJs, the music really elevates me. And if it gets too loud, you can just simply move to the restaurant side for a chill out,” Ade, one of the guests, told The Jakarta Post. “Or go to the right side to jam on the dance floor.”

To deliver the best quality of dance music, Dragonfly has hosted a myriad of world-class DJs and acclaimed entertainers such as DJ Nixon and Louie Vega, respectively.

Situated at Graha BIP building on Jalan Gatot Subroto has since last year reincarnated into becoming a smarter looking venue. After being renovated, the hottest restaurant and lounge are conjoined so as to provide a night-out experience to the fullest.

Having the concept created by the Ismaya Group, Dragonfly serves a variety of well-designed menu that allows visitors to have the taste of both east and west. In addition to serving the savory modern Asian cuisine, the restaurant at Dragonfly includes tapas menu of Spanish and Canadian. Nevertheless, the food has the strong influences from the Indochine region with the taste of sweet, hot, sour and salty. Deep fried marinated calamari and sweet and sour orange stir-fried dory fish are among the menu’s favorites.

Along with the menu to tickle the visitors’ palate, an array of selected wines and seductive Asian cocktails are lined up to boost the spirit. With the special Thursday all night long, visitors can get great deal for selected wines. Dragonfly Martini and Grilled Lime Mojito are respectively among the club’s drink signatures and stick drinks.

“But you should try the long and powerful cocktails on the list like One Night Stand and Illusion,” Michael, an expatriate from an oil company suggested adding, “Sipping a glass of wine while enjoying egg croquette tapas in a Dragonfly’s lively relaxing ambience creates a vibrant lifestyle.”

Awarded one of the top ten design bars by an acclaimed media, Dragonfly has created a unique decoration that can be described as modern Asian elegant, though many will agree with the term “avant-garde.” Embedded within the club’s contemporary wall lighting is an alluring leaf patterns, an essence of Asian influence of vintage old wood and seductive translucent lightning.

Lobbying: Suap, Seks, dan Kekuasaan

0

“Tanpa ada lobi, bisnis belumlah valid,” ujar seorang managing director sebuah perusahaan periklanan. Ya, bisnis dan lobi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Lobi bisa mendekatkan perusahaan dengan klien. Berkat lobi klien akan lebih percaya kalau mereka mengenal lebih personal, di samping track record perusahaan tentunya.

Fenomena seperti ini memang bukan barang baru dalam urusan bisnis. Melobi pada dasarnya merupakan usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran, agar terbentuk sudut pandang positif terhadap perusahaan. Kegiatan melobi pada intinya dapat diartikan sebagai aktivitas untuk menyodorkan ide sedemikian rupa sehingga memiliki arti dan nilai yang positif bagi sasaran lobi.

Tapi yang menarik, urusan lobi pun tidak sekadar urusan bisnis, tapi menyangkut hal-hal di luar bisnis yang tak jarang berisiko tinggi, mulai dari sekadar komisi hingga urusan syahwat. Bahkan untuk urusan lobi, duit US$ 800 juta bukan apa-apa. Paling tidak, sebesar itulah belanja industri farmasi Amerika untuk melobi anggota Kongres dan pengambil keputusan, di pemerintah pusat dan negara bagian, dalam kurun waktu tertentu beberapa tahun yang lalu.

Tidak hanya itu, untuk memuluskan jalan, mereka juga melibatkan 3.000 kaki tangan sebagai pelobi, yang sepertiganya adalah bekas pegawai pemerintah federal. Para pelobi itu bekerja keras, agar peraturan-peraturan yang keluar tidak merugikan industri farmasi.

Itu adalah sekadar contoh bahwa lobi bukan masalah sepele. Dalam ranah politik lobi memang bukan salah satu pilar demokrasi, tapi secara faktual mempunyai kedudukan yang sangat strategis – meski pun lobi sulit dibedakan dengan sogokan.

Elizabeth Drew dalam The Corruption of American Politics: What Went Wrong and Why (1999), menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun semakin banyak pelobi bergentayangan di kantor Kongres, terutama setelah 1980-an, ketika orang berpolitik bukan lagi untuk memperjuangkan ideologi, melainkan untuk alasan yang sangat rasional; uang dan kekuasaan.

Lobi memang tidak hanya populer di dunia bisnis, tapi sudah memasuki berbagai wilayah kehidupan, tak terkecuali ranah poltik. Kemenangan Barack Obama sebagai Presiden AS tentu bukan hanya karena popularitasnya serta euforia rakyat Amerika yang menginginkan perubahan.

Di balik itu ada peran para pelobi, baik yang informal maupun yang secara resmi tergabung dalam tim sukses. Mereka tidak hanya merancang campaign strategy yang cerdas dan terencana, tapi juga rajin melakukan lobi-lobi kepada pihak-pihak tertentu yang bisa memuluskan jalan Obama ke Gedung Putih.

Cerita tersebut tidak hanya terjadi di Negeri Paman Sam, tapi sebetulnya juga berlangsung di negara kita. Kita sering mendengar untuk menggolkan rancangan undang-undang tertentu, beberapa anggota DPR pun kerap kecipratan dana yang cukup besar dari pihak tertentu. Selain suap, lobi tersebut tak jarang melibatkan perempuan – yang membuat seorang penyanyi dangdut pun dalam sebuah kasus yang belum putus, meminta cerai dari anggota DPR tersebut.

Photo by Manki Kim on Unsplash

Dalam urusan lobi, ingatan kita juga masih segar terhadap Artalyta Suryani. Wanita pengusaha ini sangat populer di kalangan pejabat, anggota parlemen, hingga petinggi kepolisian dan kejaksaan. Nama wanita berusia 47 tahun ini menjadi sorotan pers ketka skandal transaksi jaksa bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkuak.

Tak Lekang oleh Waktu

0

Pesan pendek masuk ke telepon genggam saya beberapa waktu yang lalu. Pengirimnya Olga Lydia: We would like to welcome you to Elbow Room’s Soft Opening. Enjoy our great food and exclusive beers & wine at 30% discount!

Menarik, bukan diskonnya semata, tapi model cantik itu benar-benar serius masuk ke bisnis food and beverage (F&B). Sebelumnya ia bersama teman-temannya membuka La Forca, kafe yang mempunyai fasilitas biliar, kemudian Poke Sushi, dan kini bersama Anya Dwinov, Olga membuka bar di bilangan Kemang Jakarta. “Tidak selamanya saya jalan di catwalk, jadi harus memikirkan bisnis di luar modeling,” katanya waktu itu.

Alasan kali ini mungkin sama, tidak selamanya Olga menjadi artis, dan tidak hanya mengandalkan penghasilan dari dunia keartisan. “Tidak sembarang bisnis tentu saja, kebetulan bisnis yang saya tekuni saat ini sesuai dengan passion saya, lifestyle,” jelasnya.

Kalau mau jujur, dunia keartisan di Indonesia memang sangat terbatas. Berbeda dengan di AS, misalnya, artis dan penyanyi bisa bertahan sampai tua. Meryl Streep, misalnya, di usia yang tidak bisa dikatakan muda, masih mendapatkan peran utama dalam banyak film. Gloria Estefan atau Natalie Cole masih mengeluarkan album dan selalu mengadakan konser.

Di Indonesia bukannya tidak ada artis yang mampu bertahan sampai gaek, tapi bisa dihitung dengan jari. Itu sebabnya para selebriti, selagi beada di puncak karier, harus memikirkan karier di luar keartisan. Pelawak Tukul Arwana membuka bisnis kos-kosan, artis cantik Titi Kamal terjun ke bisnis restoran, DJ Riri buka kafe & bar, penyanyi dangdut Inul Daratista pun terjun ke bisnis karaoke keluarga dengan nama Inul Vizta. “Kalau ngebor terus pasti berisiko,” itulah salah satu alasannya. Bisnis yang dimulai Inul sejak 2004 itu tergolog sukses dan kini memiliki lebih dari 25 cabang.

Kalau diperhatikan, bisnis yang paling banyak ditekuni para selebriti adalah bisnis F&B, paling tidak yang masih ada hubungannya dengan gaya hidup. Apakah karena bisnis F&B mudah dilakukan?

Tidak juga. Karena ang dibutuhkan tidak sekadar menyalurkan hobi semata, tapi harus ada passion, skill, diferensiasi, strategi pemasaran yang jitu, dan tentu saja strategi bisnis yang matang. Kalau tidak, siap-siap saja untuk gulung tikar.

Tapi yang jelas, bisnis F&B mempunyai potensi yang besar di Indonesia. Banyak restoran, kafe dan bar baru bermunculan – meski tak sedikit yang tutup. Kalau tidak mana mungkin investor-investor asing melirik bisnis ini. Kenny Rogers Roasters, untuk menyebut contoh. Restoran franchise asal AS ini sudah ada di Pacific Place, dan akan dikembangkan di Mal Pondok Indah 2 Jakarta. Yang membawa ke Indonesia adalah Berjaya Corporation Berhard asal Malaysia.

Photo by Austin Distel on Unsplash

Di Malaysia sendiri, saat ini Kenny Rogers Roasters sudah mempunyai lebih dari 50 gerai, padahal jumlah penduduknya lebih sedikit dibandingkan Indonesia. “Di Kuala Lumpur dengan populasi tidak lebih dari 5 juta jiwa, terdapat lebih hampir 30 gerai. Jadi, kalau Jakarta dengan penduduk 14 juta jiwa, mestinya terbuka kemungkinan untuk lebih tumbuh,” Dato’ Francis Lee, Executive Director Berjaya Group, sekaligus President Roasters Asia Pacific, kepada Majalah MIX.

Ya, bisnis F&B, mengutip (almarhum) Benyamin Sueb, memang kagak ada matinye. Dalam ungkapan yang lebih baru, mengutip judul lagu terbaru Kersipatih, Tak Lekang oleh Waktu. Secara logika yang utama dalam industri ini adalah orang harus makan.

Ala Chef

0

Acara kuliner di TV yang paling saya sukai adalah “Ala Chef” di Trans TV. Terus terang, pertama-tama memang karena host-nya yang jelita, Farah Quinn. Tapi yang lebih penting, penonton bisa diajak masuk ke aura masak memasak yang cerdas, yang hasilnya adalah yummy sexy food, paling tidak begitulah kata si pembawa acara di di pengujung acara.

Sayangnya, acara yang bermutu ini ditayangkan di jam para profesional masuk kantor. Artinya, hanya orang-orang rumahan saja yang bisa menyimak pelajaran masak memasak ala chef tersebut. Sebutlah ibu-ibu dan, maaf, pembantu saja, yang mungkin menjadi target pasar acara tersebut. So, saya jarang nonton, tapi saya cukup beruntung, pernah semeja dengannya dalam sebuah jamuan makan siang di Time Square, Grand Indonesia, atas undangan teman baik saya, Hanny Gunawan, PR Manager tempat tersebut.

Yang jelas, acara kuliner dan masak memasak memang makin mendapat tempat di Indonesia. Kalau tidak, mana mungkin, acara seperti Gula-gula atau Wisata Kuliner tetap berkibar. Ada juga Santapan Nusantara, Bango Cita Nusantara, Cita Rasa William Wongso, dan lain-lain.

Yang menarik, acara-acara tersebut melahirkan chef-chef andal yang mulai dikenal masyarakat luas, minimal kategori host lagi, yang jagoannya di kuliner. Memang, salah satu rumus untuk menarik perhatian penonton adalah dengan menampilkan bintang tamu selebirti, tapi kini chef-chef itu menjelma menjadi selebriti itu sendiri. Sebutlah William Wongso, Bondan Winarro, Bara Pattirajawane, Tatang, Ragil, Rustandy, Rudy Choirudin, dan lain-lain.

Ya, chef bisa menjadi sentral sebuah acara, sama dengan restoran-restoran di negara maju, kuncinya adalah sang chef. Inilah sebuah penghargaan terhadap profesi juru masak yang di negara berkembang yang selama ini identik dengan urusan dapur, yang selalu diletakkan di “belakang”.

Saya ingat ketika mendapat undangan dari Australian Tourist Commission untuk program Epicurean Experiences Theme Tour, beberapa tahun yang lalu, saya (dan beberapa wartawan dari berbagai negara) mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa restoran terbaik di Negeri Kangguru itu. Nama besar sebuah restoran di sana tidak ditentukan oleh namanya, tapi siapa chef-nya.

E’cco Bistro, misalnya yang berlokasi di pusat kota Brisbane, meski kecil, tapi menjadi favorit penduduk Australia lantaran pemilik sekalian chef-nya, Philip Johnson, sangat populer di dunia kuliner. Philip yang asal New Zealand itu dikenal sebagai koki yang andal. Mendapat beberapa penghargaan seperti The Remy Martin Gourmet Traveller Australian Restaurant of The Year Award, serta menjadi salah satu yang direkomendasikan dalam Eating and Drinking in Australia.

Di Noosa, salah satu melting pot yang penting di Australia, kami berkesempatan menikmati makan malam di dua restoran ternama. Ricky Ricardo’s dan Berardo’s Restaurant. Resto yang pertama berlokasi di tepi sungai. Ricky yang pernah memenangkan American Express Award dan Best Sunshine Coast Restaurant itu menyajikan makanan ala Mediteranean.

Sementara Berardo’s dengan pemilik yang juga sekaligus chef David Rayner menyuguhkan sajian khas Australia, mewakili salah satu gaya Noosa Cuisine. Oleh koran lokal, The Courier Mail, kedua restoran tersebut juga dipuji sebagai resto yang mempunyai makanan yang enak, suasana yang mengasyikkan, serta mempunyai wine list yang sempurna.

Rupanya bukan nama besar yang dipertaruhkan untuk sebuah resto dengan konsep fine dining, tapi sang kokilah yang sangat berperan apakah resto itu berkualitas atau tidak.

Di Indonesia kita memang dengan gampang menyebut nama-nama restoran beken, baik yang lokal maupun franchise. Tapi kita tidak tahu siapa juru masak di belakangnya. Padahal, sebuah restoran atau kafe menjadi favorit atau tidak, pertama-tama adalah rasa makanannya, berikutnya adalah ambiance, atmosfer, suasana, dan seterusnya, termasuk harga tentu saja. (Burhan Abe)

Available in Any Size!

0

Memasarkan busana pria eksklusif super mewah memang menyimpan cerita tersendiri. Hal ini meliputi kelas sosial, kondisi psikografis dan gaya hidup konsumen yang patut dipelajari. Ada anggapan, membeli sebuah trend busana tak sekadar menikmati fungsinya, tapi juga membeli sebuah gaya hidup.

Perkembangan mode dan tuntutan penampilan menjadikan busana bagian dari kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada kaum wanita, namun juga pada kaum pria. Sementara itu, berbagai model busana terkini membuat konsumen pria lebih selektif untuk memilih yang terbaik. Setidaknya hal ini diamini oleh Irawati, Public Relations Manager PT Busana Perkasa Abadi (BPA), pemegang beberapa merek top seperti Ermenegildo Zegna, Versace, Versus, dan GF Ferre.

Memang, perusahaan di Indonesia yang berbasis busana pria tak sebanyak perusahaan yang menekuni busana wanita. Apalagi khusus busana pria eksklusif. Mitos di masyarakat, lebih mudah menjual busana wanita ketimbang busana pria. Alhasil, muncul anggapan jika wanita lebih gemar bersolek daripada pria, sehingga menetaskan citra bahwa wanita lebih modis ketimbang pria. Benarkah? Tidak juga!

Sebenarnya, konsumen pria jauh lebih kalem ketimbang wanita. Dalam memilih sesuatu, mereka lebih cepat memutuskan. Hal ini tentu lebih menguntungkan daripada konsumen wanita yang jauh lebih selektif. Bahkan, ada anggapan jika kaum pria lebih impulsif, sehingga menjual busana pria lebih mudah dan menguntungkan. Sementara itu, kaum wanita melihat dari semua aspek dalan keputusannya untuk membeli, seperti potongan merek, potongan harga, model, warna, dan lainnya.

Konsumen pria? Mereka tak mau repot-repot. Jika suka, mereka langsung membelinya walau ada “harga” yang harus dibayar. Namun demikian, banyak juga dari kaum pria, khususnya kalangan eksekutif yang gandrung terhadap brand papan atas. Nah, masalah timbul ketika sebuah busana dari merek favoritnya kurang “sreg” di hati. Misalnya, ukuran atau model busana itu tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Maklum, busana yang dipajang di manekin ukurannya belum tentu sama dengan ukuran tubuhnya.

Fenomena ini kerap melanda di kalangan pria eksekutif. Bagaimana menyiasatinya? Merek busana pria papan atas menyadari betul fenomena itu. Sebut saja Ermenegildo Zegna yang tampil dengan servis bertajuk “Su Misura”. Seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, program Su Misura melayani pembelian dengan ukuran yang sesuai, tentu setelah diukur terlebih dahulu, layaknya pembuatan jas (stelan) di tailor. Bukan cuma jas, program Su Misura meliputi pembuatan produk fashion lainnya seperti jaket, celana, kaos, dasi, sepatu, hingga ikat pinggang.

Servis ini mengakomodasi keinginan konsumennya. Tentu dengan kualitas dan sistem kontrol yang baku sesuai standar. Intinya, produk yang dipesan diperlakukan sangat akurat demi kepuasan konsumen yang sudah fanatik dengan produk Zegna. Memang, secara general Zegna diperuntukkan bagi pria yang relatif konservatif namun tetap mengikuti tren.

Yang menjadi benang merah dari karakter konsumen produk papan atas boleh jadi sama, yaitu fashionable dan established. Alhasil, produk-produk yang ditawarkan pun bukan sekedar pelengkap tubuh, melainkan pembentukan citra. Harga yang harus dibayar pun angkanya kian meroket. Mulai dari kisaran ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.

Kesan pertama merupakan kunci terpenting bagi pebisnis. Kalau seseorang sudah “tenggelam” saat pertemuan pertama gara-gara caranya berpakaian, ini adalah tragedi! Seringkali kita menemukan seorang eksekutif yang berbusana mengesankan dari kaki hingga kepala. Namun, imej-nya menurun gara-gara dasi atau ikat pinggang yang tidak pas. Merugi? Sudah pasti! Artinya, style seseorang merupakan salah satu investasi penting. Yang jelas, asal kocek mendukung, semua bisa di-customized! (Burhan Abe)

Fashion Pro, Januari 2009

A Trip to Beautify Oneself

0

Nurlita no longer feels comfortable with her looks. At 36, she is worried by the wrinkles appearing on her face and around her eyes. “Tell me, what woman doesn’t want to look beautiful? Now, maybe only cosmetic surgery can help me solve the problem,” said Nurlita, who is the marketing manager of a garment company.

Today, many things can be done to improve one’s looks, from a facelift to botox and various other procedures that make one’s face younger with a short recovery time. The cost is also affordable to many. Facelifts and other such surgeries are not only done domestically, but also abroad, which means that one can go on a tour and have one’s face done at the same time.

Some Bangkok hospitals and beauty clinics already advertise here. They provide a wide range of services, such as tightening the facial skin, hair removal, face mark reduction, breast implants, tummy tucks and even sex changes.

Going abroad for a tour and cosmetic surgery is becoming popular, with Thailand being one of the most popular destinations for medical tours. Bangkok Dusit Medical Services Group and Bumrungrad Hospital, both located in Bangkok, are just two examples of the Thai hospitals that attract foreign tourists wanting cosmetic procedures. Every year, more than 364,000 patients from 150 countries go to Thailand on medical tours.

Singapore is probably the best prepared Asia Pacific country to tackle medical tours. What makes Singapore one of the leading medical centers in the world is its state-of-the-art facilities, professional doctors and sophisticated diagnostic equipment. Besides its world-class facilities, Singapore’s clean environment also lends patients a sense of well-being that encourages a speedy recovery.

AsiaMedic Limited in Singapore is just one example of a leading one-stop healthcare provider that serves both local and foreign patients. It focuses on early prevention and detection of various diseases through sophisticated technology in its wide-ranging specialized clinics, such as AsiaMedic PET/CT Centre, Aesthetic Medical Centre, AsiaMedic Eye Centre, Orchard Imaging Centre and Wellness Assessment Centre.

Meanwhile, Excellence Healthcare is a multi-discipline American-style clinic that offers various medical services, such as general checkup, cardiology, oncology, Lasik and presbyopia surgery, aesthetic and plastic surgery, dental care and orthodontics, and obstetrics and gynecology.

Other medical centers in Singapore include eMenders Medical Specialist Group, Island Orthopaedi-c Group, Pacific Healthcare, Specialist Dental Group (Henry Lee Dental Surgery), Surgeons International Holdings Pte Ltd, The Lasik Surgery Clinic, and many more. In 2000, the World Health O-rganization (WHO) ranked Singapore’s healthcare system No. 6 in the world. Apart from this recognition, 13 of Singapore’s hospitals and health centers have been accredited by the International Joint Commission.

Meanwhile, Malaysia has also emerged as a destination for medical tourism. One of its targets is Indonesian patients for both health and beauty services. So, don’t be surprised to see advertisements in local media promoting cosmetic procedures in, say, Penang, Malaysia.

The surgeries offered include liposuction, blepharoplasty (double eyelid surgery), nose implants, breast enlargement, facelifts, etc. The hospitals provide not only medical services but also accommodation at a four- or five-star hotel, airport transfer and local transportation for shopping and sightseeing.

In An Absolut World

0

Jumat 6 Februari 2009 menjadi saat dimulainya rangkaian Absolut Vodka Party berlangsung di Minus2 Bar Jakarta. Saat ini Absolut Vodka masuk dalam keluarga besar Pernod Ricard bersama minuman seperti Chivas Regal, Martell dan lainya.

“Absolut Vodka masuk pertama kali tahun 90-an melalui distribusi dari Seagram di mana Absolut adalah agency brand yang didistribusikan pada waktu itu oleh Seagram. Sejak tahun 20008, Absolut (tepatnya perusahaan V & S) dibeli oleh Pernod Ricard dan masuk menjadi keluarga Pernod Ricard,” jelas Edhi Sumadi, Country Manager Pernod Ricard Indonesia, beberapa saat sebelum party dimulai.

Party yang pertama kali diselenggarakan oleh Absolut Vodka ini sengaja mengangkat tema In An Absolut World (Enjoy Different Flavour Ever Moment). Tema ini menjadi tema besar bagi setiap party-party yang diselenggarakan oleh Absolut Vodka. “Dalam membuat pesta-pesta. Tema akan tetap dengan tema yang utama, yaitu In An Absolut World. Kejutan akan datang di dunia Absolute. Maksudnya di dalam dunia Absolut, segala sesuatu bisa berbeda dengan hal-hal yang biasa. Banyak hal surprised yang tidak disangka-sangka.

Kemeriahan party yang dihadiri oleh partygoers dan pencinta minuman Vodka ini dimeriahkan dengan penampilan DJ Devina yang memang pencinta sejati minuman Absolut Vodka.Partygoers di Indonesia saat ini sudah dapat menikmati beragam rasa dari Absolut Vodka. Mulai dari Mango, Papper, Citron, Mandrin, Pears, Peach, Red Ruby, Vanilla, Kurant dan Respeberry. Dan produk utama Absolut Blue (Pure Vodka). Beberapa partygoers banyak yang mengoleksi botol-botol indah dari Absolut Vodka.

Bisnis dalam Balutan Cinta

0

Single this valentine’s day? Not for long… !!! Join us. What: Speed dating. Where: Portobelo, Jakarta. When: Friday, February 13th 2009. Time: 08.00 PM. Dress to impress! 

Begitulah iklan ajakan untuk merayakan Valentine’s Day sebuah kafe yang terletak di Mid Plaza Midplaza 2 Building, Jl. Jendral Sudirman Jakarta itu. Target mereka kali ini adalah orang-orang yang single and available, ready to mingle, university educated, between the ages of 25 to 40, and hold a steady job.

Portobelo hanya salah satu kafe yang memanfaatkan Valentine’s Day sebagai waktu yang tepat untuk menarik tamu lebih banyak. Seperti perayaan hari-hari besar lainnya, meski kali ini kalender tidak berwarna merah atau tidak libur, Hari Kasih Sayang yang dirayakan di berbagai negara ini adalah saat yang tepat menggandakan pendapatan. Kafe-kafe dan restoran-restoran mengemas berbagai acara yang berkaitan dengan Valentine’s Day, mulai dari romantic dinner package hingga speed dating. 

Well, Valentine’s Day boleh saja diperdebatkan di Indonesia, apakah layak dirayakan atau tidak karena tidak sesuai dengan kebudayaan. Tapi nyatanya, Valentine’s Day memang tradisi yang berakar dari Katolik, tapi saat ini sudah berubah menjadi fenomena sosial budaya. 

“Valentine adalah gejala globalisasi. Gejala gaya hidup yang menyebar ke mana-mana, Jadi kalau ada yang merayakan Valentine, sesuaikanlah dengan konteks Indonesia. Sebab Valentine tidak bisa dicegah, sulit untuk dibendung, apalagi dilarang,” ujar cendekiawan muslim Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Memang, orang yang merayakan Valentine kini tidak ambil pusing dengan latar belakang atau sejarah tentangnya. Anak-anak muda, dengan latar belakang keyakinan apa pun, juga tidak peduli siapa yang sebenarnya diperingati, tanggal 14 Februari tetaplah dianggap sebagai momen yang tepat untuk melakukan hal-hal yang barkaitan dengan pengungkapan kasih sayang.

Juga tidak bisa dimungkiri, Valentine’s Day juga dianggap sebagai waktu yang tepat bagi para pelaku bisnis untuk menaikkan penjualannya dan mengeruk keuntungan yang besar. Tidak hanya kafe dan restoran, pusat perbelanjaan, hotel-hotel ternama pun menggelar acara yang berkaitan dengan perayaan cinta tersebut. Tidak berbeda dengan saat perayaan hari-hari besar lainnya, entah itu Natal, Idul Fitri, Imlek, dan lain-lain. 

Lihat saja di berbagai pusat perbelanjaan menjelang Valentine’s Day ini, berbagai produk: kartu, bunga, balon, coklat, dan pernak-pernik khas Valentine yang lain, dipajang secara mencolok. Tempat-tempat tersebut didesain dengan hiasan hati, serta dominan warna pink.

Jangankan toko bunga, tidak hanya di pusat perbelanjaan mewah tapi juga di berbagai tempat, yang pasti panen. Maklum, bunga saat ini dianggap sarana yang efektif untuk menyatakan cinta. 

Tapi toko buku pun tidak ketinggalan untuk memanfaatkan Valentine’s Day untuk mnggenjot penjualannya dengan berpromosi habis-habisan. Sebuah toko buku ternama pun tak segan-segan menawarkan Valentines Day Gift Book. “Merayakan hari kasih sayang bersama kekasih adalah indah, tapi ada baiknya anda mengetahui lebih jelas apakah pasangan Anda orang yang anda inginkan? Orang yang akan berjodoh dengan anda? Jangan ragu lagi, buku ini akan membantu Anda,” begitu bunyi iklannya.

Pasar Tradisional

0

Kalau ingin mengenal sebuah kota, datanglah ke pasar tradisionalnya, begitu nasehat seorang wartawan senior. Dan kali ini saya tidak ingin melewatkannya, di kota Solo terdapat lebih dari 30 pasar tradisional. Saya memilih beberapa yang unik, yakni Pasar Gede, Pasar Kembang, Pasar Legi, dan pasar yang menjual barang-barang antik di kompleks Sriwedari.. 

Meski hadir hadir pusat-pusat perbelanjaan modern, pasar tradisional tetaplah unik. Ciri khas seperti tawar-menawar, keakraban, dan keramahtamahan pasar yang tidak dijumpai di pasar modern, menjadi kekuatan utama pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern. Kontribusi pasar tradisional ternyata juga tidak kecil, sedikitnya bisa menyumbang pendapatan asli daerah, dari retribusi, lebih dari Rp 11 miliar setiap tahunnya. 

Memang, kondisi pasar tradisional dari tahun ke tahun sangat menyedihkan. Dari segi fisik, bangunan pasar yang mulai tua dan butuh renovasi berubah kusam. Kalau hal ini dibiarkan, pasar tradisional kelak hanya tinggal nostalgia…. (Abe)

Eksotisme Jawa

0

Surakarta atau dikenal sebagai Solo, belakangan sering menjadi tuan rumah acara-acara budaya. Tak ayal, kota yang selalu saya lewati berkali-kali semasa kuliah dulu di Yogyakarta, kembali menarik perhatian.

Berdirinya Solo tidak terlepas dari sejarah Mataram, karena kota ini pernah menjadi pusat pemerintahannya, setelah kepindahannya dari keraton Kartasura pada 1745. Setelah pembagian Mataram akibat perjanjian Giyanti, Surakarta menjadi pusat pemerintahan wilayah timur Mataram. Perjanjian Salatiga 1753 membuat kota ini dibagi menjadi dua: bagian selatan dan timur untuk Kasunanan Surakarta, dan bagian utara diberikan kepada Mangkunegaran. Penyatuan pemerintahan kota baru terjadi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Dulu saya tidak melihat sisi eksotisme kota yang sisi timurnya dilewati sungai yang terabadikan dalam sebuah lagu keroncong legendaris, Bengawan Solo. Tapi setelah sekian tahun tinggal di Jakarta, kota di Jawa Tengah yang merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta) di Indonesia ini mempunyai daya tarik sebagai kota yang menyimpan warisan budaya adiluhung. Di sana bengunan-bangunan kuno dan gedung-gedung masih terpelihara dengan baik, tidak seperti Jakarta yang setiap saat berubah.

Kebetulan, bersama beberapa teman, saya mendapat undangan dari Ibu Krisnina Maharani, atau yang juga dikenal sebagai Ny. Nina Akbar Tanjung, untuk menyinggahi hotel miliknya di Laweyan, yang ia sebut sebagai Roemahkoe Bed & Breakfast. Inilah kesempatan untuk melihat Solo dari sudut pandang yang berbeda.

Bayangkan, hotel yang terletak di di Jalan Dr Radjiman 501 Surakarta dan hanya mempunyai 13 kamar itu adalah eks bangunan kuno yang berdiri tahun 1938. Sebagai bangunan bergaya art deco, rumah yang didirikan Ny Poespo Soemarto, saudagar batik dari Laweyan ini, langsung menyergap perhatian siapa pun yang datang dengan keindahan ornamen kaca patrinya. Apalagi, setelah memasuki bagian dalam, terasa kehangatan keluarga, seperti keramahan warga kota ini di masa lalu.

Selayaknya rumah saudagar kaya di Solo, bangunan (yang dibeli Nina pada tahun 1997, yang kemudian direnovasi dan dibuka sebagai hotel pada 2000) menguasai 60% dari keseluruhan lahan seluas 2.000 m², dan terbagi menjadi beberapa ruangan, kamar-kamar, termasuk pendopo. Menurut Asep Kambali, General Manager Roemahkoe, bangunan tersebut masih asli, terutama bangunan induknya. Hampir tidak ada perubahan kecuali perubahan fungsi ruangan.

Meski diembel-embeli bed & breakfast, bukan berarti Roemahkoe berfungsi seperti motel atau hostel yang ada di Eropa, misalnya, sebagai tempat singgah sementara, tapi justru kesan “rumah” dengan kultur Jawa terasa sangat kental. Memang, awalnya, Roemahkoe hanya menyediakan kamar tidur dan sarapan, tapi dalam perkembangannya juga menyediakan menu makan siang dan makan malam.

Ternyata, para tamu menyambutnya dengan sangat baik. Sebab, Roemahkoe memang tidak sekadar menyajikan makanan tradisional yang jarang dijumpai di tempat-tempat lain, tetapi juga makanan asli Solo yang menjadi hidangan favorit para bangsawan tinggi di sana, seperti lodoh pindang yang merupakan makanan kesukaan Pakubuwono X dan nasi jemblung atau bestik Jawa. Bahkan tamu bisa memesan makanan lain khas Solo yang tidak tersedia di Roemahkoe, seperti serabi notosuman atau gudeg ceker. (Burhan Abe)

Appetite Journey, Januari 2009