Home Blog Page 87

Perkampungan Batik Laweyan

0

Menginap di Roemahkoe Bed & Breakfast tidak sekadar tidur dan menikmati sarapan, tapi lebih dari itu, ia adalah bagian dari lingkungan yang lebih besar, yakni Kampung Batik Laweyan – yang di dalamnya juga terdapat Museum Samanhoedi.

Pada periode 1859 – 1870-an Solo merupakan pusat utama industri batik. Bagian timur dan tengah kota, seperti Kauman, Keparabon, dan Pasar Kliwon membuat batik halus. Sementara bagian barat kota, khususnya Tegalsari dan Laweyan memproduksi batik cap untuk konsumsi massal. Selain itu, Kauman adalah tempat bermukimnya para pegawai urusan agama Kasunanan.

Laweyan adalah tempat bermukim saudagar pribumi dari golongan rakyat kebanyakan. Perdagangan batik borongan untuk “pasar nasional” dikuasai orang Tionghoa dan Arab, sedangkan perdagangan batik tingkat lokal dikuasai pedagang-pedagang Jawa.

Kampung Laweyan sudah ada sejak abad ke-15 pada masa pemerintahan Kerajaan Pajang. Daerah ini dulu banyak ditumbuhi pohon kapas dan merupakan sentra industri benang yang kemudian berkembang menjadi sentra industri kain tenun dan bahan pakaian. Kain-kain hasil tenun dan bahan pakaian ini sering disebut dengan Lawe, sehingga daerah ini kemudian disebut dengan Laweyan.

Laweyan terkenal dengan bentuk bangunannya, khususnya arsitektur rumah para juragan batik yang dipengaruhi arsitektur tradisional Jawa, Eropa, Cina, dan Islam. Bangunan-bangunan tersebut dilengkapi dengan pagar tinggi atau “beteng” yang menyebabkan terbentuknya gang-gang sempit spesifik, seperti kawasan to­­wn space.

Di kampung ini juga dapat ditemukan Makam Kyai Ageng Henis dan Sutowijoyo (Panembahan Senopati), bekas pasar Laweyan, bekas Bandar Kabanaran, makan Jayengrana (Prajurit Untung Suropati), Langgar Merdeka, Langgar Makmoer, dan tentu saja rumah H. Samanhoedi, pendiri Serikat Dagang Islam.

Berjalan-jalan ke sudut-sudut gang di Laweyan seperti menyusuri jejak sejarah masa lalu. Tembok-tembok tua dengan warna yang memudar itu menjadi saksi bisu atas masa kejayaan batik Laweyan. Bahkan di dalam tembok-tembok yang angkuh tersebut masih berdiri rumah-rumah mewah pada masa lalu yang masih terawat dengan baik.

Batik, bahkan sampai saat ini, tidak bisa dilepaskan dari Laweyan. Itu sebabnya, sebagai langkah strategis untuk melestarikan seni batik, Laweyan dalam era kekinian didesain sebagai kampung batik terpadu. Di atas lahan seluas 24 hektare inilah, pengelola kampung batik Laweyan menciptakan suasana wisata dengan konsep “rumahku adalah galeriku”. Artinya, rumah memiliki fungsi ganda sebagai showroom sekaligus rumah produksi.

Konsep pengembangan terpadu ini nyatanya memang berhasil memunculkan nuansa batik di Laweyan, yang secara langsung akan mengantarkan para pengunjung pada keindahan seni tekstil dan garmen khas Indonesia tersebut. Di antara ratusan motif, jarik dengan motif Tirto Tejo dan Truntun merupakan ciri khas utama batik Laweyan.

Kroncong, karawitan dan rebana merupakan jenis kesenian tradisional yang banyak ditemukan di masyarakat Laweyan. Kelengkapan khasanah seni kampung batik Laweyan tersebut itulah yang menjadi daya tarik para wisatawan, baik dari Indonesia sendiri maupun asing (Jepang, Amerika Serikat dan Belanda). (Burhan Abe)

Dari Cabuk Rambak hingga Gudeg Ceker

0

Solo bukan hanya batik atau budaya saja, kota ini terkenal dengan jajanan serta makanannya yang khas. Tidak heran kalau kelompok pecinta makan seperti Jalansutra, menjadikan Solo sebagai salah satu tujuan wisata kuliner mereka.

Kalau mau tahu daftar kuliner Solo yang eksotis, inilah beberapa di antaranya: timlo, pecel sambel kacang (sama saja dengan pecel Jawa yang lain), pecel sambel wijen (sering disebut “pecel ndeso”), tahu kupat, cabuk rambak, sosis solo, sate buntel, garang asem, tengkleng, gudeg ceker, dan masih banyak lagi.

Kali ini yang menjadi incaran saya dan teman-teman adalah “pecel ndeso”. Kami memilih warung makan Pecel Solo yang terletak di Jalan Dr Supomo No 55. Nama warungnya terdengar sudah jamak, tapi suasana eksotik etnis Jawa pada masa lalu sangat kental.

Atmosfernya sudah menawan, tapi makanannya sendiri tidak kalah menggodanya. Tidak hanya kemasannya yang “kuno”, tapi nasi pecelnya sendiri berasal dari beras merah, jenis beras yang kini makin langka. Pecelnya, berisikan sayuran, mulai dari jantung pisang, nikir, daun petai cina, bunga turi dan kacang panjang. Sambalnya ada dua pilihan, sambal kacang seperti pecel pada umumnya atau sambal wijen yang memiliki dua pilihan, wijen putih atau hitam. Lauk yang bisa Anda pilih di sini adalah tempe bacem, belut goreng, telur ceplok, sosis solo, bongko (kacang merah dan kelapa), gembrot, otak, iso goreng, dan lain-lain.

Sasaran berikutnya adalah gudeg ceker. Menu ini merupakan variasi dari jenis gudeg yang biasa kita kenal, hanya saja ditambahkan dengan ceker alias kaki ayam. Sungguh pengalaman kuliner yang menyenangkan.

Apalagi, menu ini, sebutlah Gudeg Ceker Bu Kusno Margoyudan, yang berlokasi di Jl. Monginsidi, hanya bisa ditemui pada jam 02.00 dini hari. Pembelinya mengantre, datang dari kalangan yang beragam, mulai dari tukang becak sampai pejabat bermobil, dan tentu saja wisatawan dari luar kota.

Para pengunjung bisa menghabiskan hingga puluhan ceker, yang dihidangkan bersama dengan gudeg. Ceker-ceker tersebut telah dimasak hingga lunak, karena rasanya memang lezat. Selain dimakan bersama dengan nasi gudeg, pengunjung bisa juga memesan ceker dengan bubur. Itu baru sebagian saja, sebab kalau dituruti mencicipi semua makanan khas Solo, tentu waktu waktu seminggu pun tidak akan cukup. (Burhan Abe)

Wine Tasting @ Vin+

0

“Pale yellow with a greenish tint, limid and brilliant. First nose sour apple with strong flowery bouquet. The first attack is supple and very fresh. Excellent with fish, white meats and goat cheese.”

Itulah tasting note (catatan rasa) yang diberikan oleh sommelier (ahli wine) untuk M. Chapotier Petite Ruche Hermitage Blanc tahun 2007. Anggur putih asal Prancis tersebut hanyalah satu satu dari empat produk yang boleh dicicipi oleh para pelanggan V+, gerai wine terlengkap di bilangan Kemang, Jakarta, akhir Oktober lalu. Selain produk yang disebut di atas, masih ada Bovier and Fils AC Chablis Blanc (2006), La Valinere Graves Rouge (2005), dan Chateau Barreyre AC Premieres Cotes de Bordeaux (2005).

Dalam acara wine tasting para tamu boleh mencoba wine yang disajikan malam itu. Kalau cocok dengan selera, mereka boleh memesannya untuk dibawa pulang atau diminum di tempat, sebagai teman makan malam. Untuk memandu rasa, beberapa produk ada tasting note-nya, termasuk dengan makanan apa wine tersebut diminum, tapi itu bukan menjadi patokan orang menyetujui atau tidak.

Apalagi, pendapat para ahli wine tentang kualitas suatu jenis wine tertentu pun bisa sangat bervariasi. Bahkan, selera orang per orang bersifat personal –- yang satu menyukai wine tertentu, tapi yang lain mungkin berpendapat sebaliknya. Saran pakar, seperti ditulis dalam Appreciating Fine Wines, dan masih relevan sampai saat ini, bila sudah menyukai rasa suatu jenis anggur, nikmati saja tanpa perlu takut dibilang “kampungan”.

Yang jelas, wine kini bukan minuman yang asing bagi lidah orang Indonesia. Bahkan, minuman beralkohol yang terbuat dari sari anggur jenis Vitis vinifera yang biasanya hanya tumbuh di area 30 hingga 50 derajat lintang utara dan selatan ini, makin populer belakangan ini. Terbukti dengan banyaknya bar-bar yang khusus menyediakan wine di Jakarta belakangan ini.

Vin+ hanya salah satu yang sampai saat ini masih tergolong hip. Selain koleksi wine-nya yang mencapai 800 merek, penambahan fasilitas baru, yakni Mixx Grill Steak House, menambah sempurnalah gerai ini. Yup, steak dan wine, adalah pasudan yang serasi. Rasanya ada yang kurang kalau menikmati sekerat steak lezat tanpa wine atau sebaliknya. (Burhan Abe)

Platinum Society, Desember 2008

Pasar Wine yang Membesar

0

Wine kini lebih dari sekadar social drink, banyak orang yang semula coba-coba telanjur menjadi penyuka wine sehingga minuman yang satu ini menjadi teman akrab, baik saat santai, pesta, maupun teman saat bersantap. Tidak salah, pasar wine memang berkembang pesat di Jakarta. Itu sebabnya, tempat-tempat minum wine kini makin banyak tersedia.

Ada venue khusus yang menyediakan wine, yang bisa dinikmati di tempat atau dibawa pulang. Ada juga konsep restoran dan wine lounge, dengan sofa-sofa modern dan cantik. Ada live music yang membuat venue tersebut sebagai tempat hang out yang mengasyikkan.

Bar-bar ini mengakomodasi kebutuhan minum wine kaum urban (biasanya berusia 25 – 45 tahun) yang mulai menjadi kebiasaan, bahkan menjadi bagian dari gaya hidup baru. Saat kesibukan semakin padat, bar-bar tersebut hadir dengan fasilitas kelas atas, yang membuat kaum urban bisa menikmati hidup.

Yang menarik, faktanya, tidak murah untuk berinvestasi di wine bar, setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp 3,5 – Rp 6 miliar. Itu belum termasuk sewa tempat yang biasanya berada di kawasan elite Jakarta, kalau tidak di central business district Jakarta, pastilah di seputar Kemang. Kalau dihitung dengan persediaan wine-nya sudah pasti akan lebih besar lagi, sedikitnya Rp 300 juta bahkan Vin+ yang juga distributor wine yang menyuplai gerai-gerai lain, harus menyediakan dana tak kurang dari Rp 20 miliar untuk stok wine.

Harga wine sangat bervariasi, tergantung merek dan jenisnya. Sebotol house wine, yang bisa diminum sehari-hari sekitar Rp 200 – 300 ribu, tapi yang full bodied harganya bisa Rp 500 ribu ke atas. Asal tahu saja, di Jakarta ada wine bar yang menjual angur premium yang harganya selangit, Bollinger 1829 – Champagne, Blanc de Nairs, misalnya, harganya Rp 16 juta per botol, bahkan Montrachet (2000) – White wine, Chardonnay, Burgundy harganya Rp 50 juta dan Romanee Conti (1999) – Red wine, Burgundy, Rp 100 juta per botol.

Keberanian orang untuk berinvestasi di bisnis ini tak lain karena pasar wine di Jakarta, meski pun niche, tapi cukup menjanjikan. Kalau tidak, mana mungkin Opco Group yang mempunyai sejumlah klub dan restoran – sebutlah Embassy, Score, Hugos (klub-klub trendsetter di kota-kota besar Indonesia), Wonder Bar, dan lain-lain, berminat membuka wine bar dengan nama Cork & Screw. Atau Jaya Sukamto si pemilik minuman jus kemasan merek Berri, merambah ke bisnis wine, salah satu gerainya adalah Cheese & Caviar.

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

Menurut Suryadi Jaya, Direktur PT Sarana Tirta Anggur yang bergerak di distribusi wine, pemain wine di Indonesia saat ini sekitar 15-an. Ada yang hanya bergerak sebagai retailer dengan mendirikan wine bar, tapi ada yang juga merangkap sebagai distributor. “Level penjualan wine itu beragam. Kami tidak saling bersaing, sebab masing-masing produk mempunyai segmen pasar sendiri-sendiri,” katanya. (Burhan Abe)

Platinum Society, Desember 2008

00.00

0

Kalender meninggalkan lembaran terakhir, tepatnya 31 Desember. Detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00″. Inilah momen istimewa yang selalu dirayakan orang seluruh dunia. Ada yang membuat pesta besar-besaran, ada yang merayakan dengan khidmat – merenungkan kembali perjalanan hidup, berdoa, dan merancang langkah ke depan.

Dulu, saya mempunyai kebiasaan untuk selalu merayakan pergantian tahun: old and new, dengan mendatangi 3-4 acara yang menarik. Bukan apa-apa, sebagai jurnalis, saya memperoleh akses yang baik untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut, kemudian menuliskannya untuk pembaca. Belakangan kegiatan tersebut mulai berkurang, saya hanya menyeleksi satu acara saja yang ingin saya hadiri.

Atau kalau tidak, saya lebih suka melewatkan waktu untuk kepentingan personal saja – tanpa embel-embel “tugas sebagai wartawan”. Bentuknya tak jauh dari kumpul bareng dengan keluarga di depan TV yang acaranya pasti istimewa, bergembira bersama teman-teman, atau rame-rame berbaur dengan tetangga di seputar tempat tinggal sambil menikmati kambing guling!

Begitulah ritual yang terjadi setiap tahun. Merayakan pergantian waktu, bergembira, melupakan sejenak beban hidup, tidak ada salahnya kan?

Memang tidak ada salahnya. Tapi seorang teman mengingatkan, apa yang istimewa dengan tahun baru, itu toh hanya tanda pergantian waktu, yang lebih penting adalah sejauh mana kita menyikapi waktu dengan bijak. Apalagi, lagi-lagi menurut dia, merayakan tahun baru Masehi jauh dari tradisi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.

Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang bernama Gaisus Julius Caesar. Itu terjadi pada tahun 45 SM (Sebelum Masehi) jika menggunakan patokan tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.

Pada perkembangan selanjutnya, Paus Gregory III kemudian memoles kalender tersebut, memodifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh dunia.

Pada zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (yang digambarkan bermuka dua, merupakan dewa pintu dan semua permulaan). Perayaan ini kemudian menyebar ke Eropa dan menjadi tradisi di benua tersebut pada abad awal Masehi. Seiring lahir dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan suci, satu rangkaian dengan perayaan Natal. Itu sebabnya ucapan Natal dan Tahun Baru selalu satu paket: Merry Christmas and Happy New Year!

Well, tradisi bisa dari mana saja, tapi yang penting kita bisa mengambil nilai-nilai baiknya. Faktanya, pada old & new, sebagian besar teman-teman merayakan kegembiraan tersebut dengan pesta. Tapi tidak sedikit yang menjadikan momen tersebut dengan mengunjungi dan berdoa di mesjid, atau yang lebih dikenal dengan i’tikaf. Merenungi kembali apa yang telah mereka lalui, serta memantabkan berbagai rencana ke depan, yang dalam bahasa masa kini disebut sebagai resolusi. Ini juga sesuai dengan tuntunan Quran, “Wahai orang-orang yang bertaqwa, dan hendaklah kalian melihat diri kalian sendiri, apa-apa yang telah berlalu (telah diperbuat), untuk masa yang akan datang.” (Al Hasyr 18).

Tapi resolusi tentu bukan monopoli orang (atau yang merasa) bertaqwa saja, kan? Semua orang berhak membuat resolusi pribadi. Mereka boleh mencanangkan rencana, keinginan, niat, dan aktivitas baru yang akan dilakukannya tahun depan.

Anomali Bisnis F&B

0

Senja jatuh di Jakarta. Jalanan di jam sibuk tersebut, seperti biasa, macetnya luar biasa. Inilah saatnya para yuppies Jakarta berhenti sejenak di suatu tempat sambil menunggu jalanan sedikit lengang. Social House, bukan, bukan tempat yang dikelola oleh LSM, seperti “rumah singgah”, misalnya. Tapi yang satu ini kini identik sebagai tempat nongkrong yang asyik saat ini.

Sebuah restoran, bar, dan wine shop terbaru, yang terletak di Grand Indonesia, East Mall, lantai satu, tepatnya di dalam gerai Harvey Nichols. Yang menawan adalah view-nya, Budaran HI, lokasi paling strategis di Jakarta.

Social House hanya salah satu. Kini tidak terhitung bar-bar khusus bagi penikmat anggur, dan makanan tentu, di Jakarta. Ada venue khusus yang menyediakan wine, yang bisa dinikmati di tempat atau dibawa pulang. Ada juga konsep restoran dan wine lounge, dengan sofa-sofa modern dan cantik. Ada live music yang membuat venue tersebut sebagai tempat hang out yang mengasyikkan.

Yang jelas, wine kini lebih dari sekadar social drink, dan pasarnya memang berkembang pesat di Jakarta. Itu sebabnya, tempat-tempat minum wine kini makin banyak tersedia. Vino Embassy, Connoiseur, Cork & Screw, Vin+, Oyster, Cheese & Caviar, Portobello, Loewy, untuk menyebut beberapa nama.

Bar-bar ini mengakomodasi kebutuhan minum wine kaum urban (biasanya berusia 25 – 45 tahun) yang mulai menjadi kebiasaan, bahkan menjadi bagian dari gaya hidup baru. Saat kesibukan semakin padat, bar-bar tersebut hadir dengan fasilitas kelas atas, yang membuat kaum urban bisa menikmati hidup.

Yang menarik, faktanya, tidak murah untuk berinvestasi di wine bar, setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp 3,5 – Rp 6 miliar. Itu belum termasuk sewa tempat yang biasanya berada di kawasan elite Jakarta, kalau tidak di central business district Jakarta, pastilah di seputar Kemang.

Kalau dihitung dengan persediaan wine-nya sudah pasti akan lebih besar lagi, sedikitnya Rp 300 juta, bahkan gerai yang sekaligus distributor, harus menyediakan dana tak kurang dari Rp 20 miliar untuk stok wine.

Selain Social House, wine bar yang paling hip saat ini adalah Loewy. Berlokasi di Oakwood, kawasan Mega Kuningan Loewy tampil catchy layaknya bistro-bistro ala Prancis yang bertebaran di New York, dengan interior bergaya retro tahun 1940-an yang diolah menjadi bernuansa modern. Mulai dari kursi-kursi Thonet yang khas, dinding batu bata berwarna putih, hingga langit-langit tembaga, semua melebur menjadi satu kesatuan.

Bukan hanya melalui tempatnya, Loewy juga menciptakan sesuatu yang exciting lewat makanan dan minuman yang disajikan. Hanya saja, untuk mendapatkan tempat duduk di sini tidak mudah. Apalagi, Loewy menjadi tujuan utama pada pencari hiburan di Jakarta saat ini. Pada jam-jam tertentu antrean pengunjung lumayan panjang, sehingga harus bersabar untuk mendapatkan kursi.

Kalau melihat fakta ini seperti anomali. Kita sering mendengar dari para pakar, bahwa krisis finansial yang melanda AS, tidak ayal lagi, menyebar ke bagian dunia yang lain, tak terkecuali Indonesia. Tidak hanya dalam sektor finansial, seperti perbankan dan pasar modal, tapi juga sektor riil, termasuk sektor bisnis wine, atau secara lebih luas, F&B.

Photo by Sebastian Coman Photography on Unsplash

Pengamat ekonomi Aviliani – yang belakangan menambahkan namanya dengan “Simatupang” alias “siang malam tunggu panggilan seminar”, mengatakan meski kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga tahun 2008 tercatat masih baik, namun terdapat indikasi perlambatan serta signifikan pada tahun 2009 seiring dengan adanya krisis ekonomi global.

Bagaimana tidak, industri perbankan nasional yang tadinya dapat menyalurkan kredit properti, kini harus berpikir ulang untuk meneruskan proyek bantuannya. Sementara dari sisi bunga, saat ini sedang tidak kondusif bagi bisnis apa pun. Tapi kita melihat bahwa bisnis makanan dan minuman masih tetap marak di Indonesia.

When Steak Meets Wine

0

There are plenty of steakhouses in Jakarta. However, not many have as comprehensive a collection of wine on offer as MixxGrill Steak House. The venue is a sister company of Vin+, a happening wine bar in Jakarta.

MixxGrill in Kemang is the second branch after the first success in Cilandak Town Square. It’s divided into three areas: wine shop with over 800 wines from all over the world, a lounge and the restaurant itself.

For starter, MixxGrill’s nachos with crispy corn tortila chips is available combined with special sausage of MixxGrill Cummy Churry. Alternatively, there is also tender mesclum lettuce, tomato and aged red wine vinaigrette. The recommended mains are New Zealand grilled tenderloin served with sautéed vegetables and mushroom sauce or Norway salmon fillet with sautéed vegetables and green pepper sauce.

Something seems missing if you enjoy a mouthful of good steak without wine, or vice versa. If you are uncertain which wine to choose, a qualified sommelier will offer suggestions on wine suitable for you and your colleagues.

Despite the minimalist concept of its interior, the food at MixxGrill, however, is served at maximum quality. With so many wines to choose from, your visit should be a memorable one.

MixxGrill Steak House @ VIN+ Wine and More
Jl. Kemang Raya 45 B Jakarta Selatan
tel. (021) 7179 2577
fax. (021) 7179 2723

Pria-pria Sinterklas

0

Perayaan Natal sudah dekat, para sinterklas sudah bersiap-siap untuk ikut meramaikannya. Tapi mereka bukan sinterklas pada umumnya, mereka adalah pria-pria yang pemurah, bahkan cenderung royal, serta memanjakan para wanita dengan hadiah-hadiah. Gejala apakah ini? Kesadaran filantropis, atau sekadar pengukuhan sikap egosentris – yang secara psikologis mengatasi rasa rendah diri? (Burhan Abe)

SINTERKLAS adalah tokoh dalam cerita rakyat di Eropa, lahir tahun 280 SM di Patara, Turki. Ayahnya adalah seorang Arab yang bernama Epifanius, sedangkan Ibunya bernama Nonna. Tokoh yang dikenal dengan berbagai nama –Santa Klaus, Santo Nikolas, Santo Nick, Kris Kringle, Santa, Santy, atau Bapak Natal–, ini dalam budaya masa kini adalah seorang dermawan yang memberikan hadiah kepada anak-anak, khususnya pada Hari Natal.

Tapi orang-orang yang kita bicarakan kali ini agak berbeda. Secara tidak langsung tidak ada hubungannya dengan perayaan Natal, meski mereka dikenal sebagai seorang yang dermawan – bahkan cenderung royal.

Simak saja cerita Dino, 40 tahun. Dia adalah pengusaha kaya, tampan, dan punya kemampuan untuk melakukan apa saja dengan uangnya. Apalagi ditunjang dengan tongkrongan yang up-to date dan lingkungan pergaulan yang cukup luas, membuat pria 40 tahun ini seperti magnet buat siapapun. Pria yang masih melajang ini selalu menghabiskan akhir tahun dengan wild-party bareng teman-teman dekatnya sesama pengusaha muda.

Dino mengaku sudah mempersiapkan rencana untuk melepas akhir tahunnya. “Saya sudah booking untuk pesta akhir tahun. Dengan beberapa teman, kita akan mengadakan pesta yang tidak biasa, swinger-party,” ungkap jebolan sekolah bisnis di Amerika Serikat

Di tengah sepak terjang perilakunya sebagai penyuka pesta dan hidup hura-hura, Dino ternyata melibatkan diri pada kegiatan sosial. Melalui perusahaannya, ia mendanai banyak aktivitas sosial. Pria yang memilih olahraga golf untuk kebugaran tubuh ini merupakan donatur tetap untuk beberapa panti asuhan anak di Jakarta. Ini mungkin semacam keseimbangan antara party goer yang suka hura-hura dan filantropi yang suka bagi-bagi hadiah.

Cerita soal sinterklas juga datang dari Kresna, bukan nama sebenarnya. Pengusaha yang bergerak dalam bidang pertambangan ini mempunyai jadwal khusus setiap akhir pekan, menraktir seseorang yang dianggap istimewa, wanita tentu saja, untuk makan malam. Tidak hanya pilihan restorannya yang mewah, tapi makanan yang dipesannya termasuk kategori mahal. Tapi bukan itu saja yang menarik, di setiap akhir acara selalu ada kejutan, ada hadiah istimewa untuk teman wanitanya tersebut. Itu bisa berupa pakaian atau aksesori, bahkan perhiasan yang cukup mahal harganya.

Tidak hanya satu dua, sudah banyak wanita yang ‘dimanjakan’ Kresna. Bahkan kadang-kadang mereka bisa disatukan dalam sebuah pesta, yang ketika pulang ‘goody bags’-nya bukan barang sembarangan, tiket ke Bali. “Jangan lihat barangnya, tapi saya ingin memberikan sesuatu yang istimewa, biar kesannya mendalam,” ujar Kresna.

Tapi yang jelas, bagi pria 52 tahun ini, uang tidak jadi masalah. Ia ingin berbagi dengan siapa saja, tapi terutama dengan expected person tentu saja, yang dengannya ia berharap bisa dihargai. Dari jawaban Kresna tahulah kita alasan sebenarnya mengapa pria beristri dan bapak dua anak ini, suka royal terhadap teman-teman wanitanya. “Wanita mana sih yang menolak dimanjakan dengan hadiah mewah, atau menikmati santap malam di restoran mahal,” katanya.

Kresna sangat tahu bagaimana memanjakan seorang wanita. Memberikan hadiah yang berkesan berupa kencan spesial adalah salah satunya. Lebih-lebih kalau ditambah hadiah-hadiah lain yang sesuai dengan kepribadian atau kesukaan pasangan. Bunga, lingerie, pakaian dalam yang seksi selalu yang menunjukkan hubungan yang lebih intim, atau berlian yang tida hanya eksklusif tapi juga merupakan sahabat terbaik untuk wanita.

Ambisi Menaklukkan Pasar Sepatu Dunia

0

Terdengar asing, sehingga banyak orang mengira kalau Edward Forrer adalah merek global. Padahal, merek sepatu (dan tas) kulit itu benar-benar berasal dari Bandung. Memang, gerai Edward Forrer kini tidak hanya tersedia di seluruh penjuru Bandung, tapi juga menyebar di kota-kota penting di Indonesia, bahkan di manca negara, seperti Malaysia, Hawaii, dan Australia.

Edward Forrer adalah salah satu merek sepatu lokal, yang saat ini tidak hanya sanggup bertahan dari serbuan pasar asing – sebutlah produk Cina yang harganya murah, tapi juga mempunyai brand value yang bagus. Selain Forrer, merek-merek lokal yang tangguh saat ini tercatat Pakalolo, Yongki Komaladi, dan Eagle.

Memang grafik produksi sepatu di Indonesia menurun, tapi merek-merek kuat di atas tersebutlah penyelamatnya. Meski menurun, tapi kabar baiknya adalah, jumlah para wirausahawan baru di bisnis ini terus bermunculan. Tahun ini, menurut catatan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), sudah lebih dari 100 perusahaan yang bergerak di industri persepatuan.

Orang sering tahu happy ending-nya, padahal menguatnya merek-merek lokal tersebut telah melalui proses yang panjang dan berliku. Bahkan untuk menghadapi persaingan yang ketat, Edward Forrer, misalnya, menerapkan strategi tersendiri. Selain melipatgandakan jumlah gerainya jadi sekitar 50 tahun ini dari 16 pada 2003, perusahaan keluarga ini menerapkan manajemen modern. 

Saat ini Edward Forrer – yang juga nama pemiliknya, membangun organizational learning untuk menjamin perusahaan selalu menjadi yang terdepan dalam hal inovasi. Be innovative, begitulah mottonya. Selain itu, peusahaan ini juga mengembangkan sistem pemesanan berbasis web yang inheren dengan skema produksi made to order.

Melalui cara ini, Edward Forrer dapat terus menekan biaya secara efektif. Hasilnya, produsen sepatu yang memiliki 2.000 karyawan (termasuk mitra usaha) ini tetap tampil mengesankan dan menguasai 5% pangsa pasar sepatu nonsport.

Tidak ada yang tidak mungkin, begitu prinsip Edward. Semua impian bisa diwujudkan dengan kerja keras, konsistensi, serta keteguhan memegang dan menjalankan nilai. Itu pula ketika ia memutuskan menjadi enterpreneur. “Saya percaya setiap orang mempunyai gift unik yang dapat digunakan untuk menjalani kehidupan,” ungkap kelahiran Bandung, 25 Oktober 1966 itu. 

Menjadikan Merek Global

Merek Edward Forrer mulai dirintis sejak tahun 1989 oleh Edward Forrer sendiri. Awalnya produk sepatu hasil ciptaannya dipasarkan melalui cara door to door. Caranya dengan memperlihatkan gambar dari model-model yang pernah dirancang sebelumnya. Di samping itu, konsumen bisa memesan sendiri model yang mereka inginkan. Tak ayal lagi, Edward Forrer akhirnya punya banyak pelanggan tetap.

Begitu banyaknya pesanan, membuat pihak Edward Forrer kewalahan menanganinya. Atas dasar itu pula didirikanlah PT Edward Forrer, yang sekaligus juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga di sekitarnya. Karena model-model yang ditawarkannya selalu inovatif, Edward Forrer bisa berkembang pesat hingga saat ini.

Tak ayal, Edward Forrer adalah produk fashion dengan kualitas terbaik, terdiri dari sepatu dan tas dengan harga yang wajar serta terjangkau. Desainnya selalu baru, unik, dan modern, hadir dalam berbagai gaya khusus dipersembahkan bagi kepuasan konsumen. Untuk layanan purna jual, Edward Forrer memberikan garansi reparasi bagi pembeli produknya.

Boleh jadi, sikap itulah yang mengantarkan Edward yang lulusan SMA ini sukses meretas kiprahnya sebagai pengusaha sepatu. Gerainya tersebar di mana-mana – sepertiga gerai yang milik sendiri (termasuk yang di luar negeri), tapi selebihnya adalah milik orang lain dalam pola waralaba.

Dalam menggandeng para entrepreneur tersebut, franchisor Edward Forrer memberi dukungan berupa training, di mana franchisee akan belajar langsung dalam inventory management, proses desain visual merchandise, layanan kepada pelanggan, dan manajemen keuanan dan perencanaan, perekrutan staf pegawai, seleksi produksi, proses pemesanan, konstruksi gerai, hingga grand opening.

Dari Musisi hingga Seniman Tato

0

Zaman berubah, merek-merek pun berganti. Kegemaran generasi MTV tidak sama dengan kesukaan generasi sebelumnya. Merek tidak harus tercipta dari tangan seorang desainer mode, tapi lahir dari berbagai kalangan. Berikut adalah beberapa contoh merek yang melaju pesat, bahkan tidak mustahil meninggalkan legend brand.

Giring Ganesha Jumaryo, 25 tahun, vokalis grup band Nidji, mengaku sebagai salah satu penggemar berat sepatu Onitsuka Tiger. Dulu, ia hanya mampu beli sepatu asal Jepang itu versi palsunya. “Setelah punya penghasilan sendiri, baru saya bisa beli aslinya. Selain itu, dulu belum ada toko yang menjual Tiger di Indonesia,” ujar Giring yang biasa membeli Tiger di Singapura.

Karena itu, Giring tidak alang kepalang gembiranya ketika tahu sepatu favoritnya merek Onitsuka Tiger itu ada di Jakarta. “Baru satu tahun belakangan saya beli Tiger di sini,” ujar pria berambut kribo itu usai pembukaan gerai Motion di fx, mal baru yang berlokasi di Jl. Sudirman, Jakarta Selatan, Juli lalu. 

Pembawa lagu Laskar Pelangi itu itu menyukai desain Tiger yang menurutnya unik dan nyaman dipakai. “Yang saya pakai ini dibuat hand made,” tutur Giring yang memiliki lima Tiger. Dua di antaranya, selalu ia bawa setiap kali tur, agar ia bisa berganti-ganti sepatu saat manggung.

Tiger hanya salah satu brand pendatang baru yang berada di top of mind anak-anak muda sekarang. Kalau merek sepatu yang ada di benak Anda adalah Puma, Adidas, Reebok, Rockpot, tentu tidak salah. Tapi sekarang pada era generasi MTV, pilihan sepatunya lebih beragam, mereknya pun lebih variatif. Begitu pun dengan aparel pada umumnya.

Kalau Anda perhatikan anak-anak muda sekarang, jangan heran kalau menemukan merek-merek yang “asing” yang kedengaran asing – tapi sebetulnya tidak bagi para fashionista. Sebutlah True Religion, Evisu, Onitsuka Tiger, Harajuku Lover, K-Swiss, Ed Hardy, Royal Elastic, Christian Audiger, atau Paris Hilton. Merek-merek tersebut jelas bukan murahan, bahkan boleh dibilang untuk kantong ABG cukup eksklusif. Harga-harganya berkisar di Rp 800.000 ke atas.

Sebutlah Levi’s, memang benar, adalah merek jins yang legendaris. Tapi Anda akan dibilang “tidak gaul” kalau tidak mengenal merek True Religion, merek jins yang kini sedang digandrungi anak-anak muda Amerika, yang mungkin menjadi “agama baru” di sana.

Tidak hanya di AS, di era kemajuan TI di mana media internet dan TV mampu menyebarkan informasi seperti virus, merek-merek global itu tentu saja cepat mendunia. Kalau kita lihat tas belanjaan Ages Monica, misalnya, salah satu merek yang disebut di atas itu, pasti terselip. Nyatanya penyanyi muda yang sedang naik daun itu adalah penggemar merek-merek seperti True Religion, Harajuku Lovers, David & Goliath, dan lain-lain.

Bahkan Melly Goeslaw yang sering tampil aneh-aneh di panggung lebih pede memakai merek-merek seperti Royal Elastic, Christian Audiger, juga Ed Hardy. 

Gwen Stefani, David & Goliath

Waktu berganti, kesukaan akan barang dan merek pun berganti pula. Pencipta brand tidak harus seorang desainer, tapi bisa datang dari mana saja, mulai dari artis film, penyanyi, ikon dunia konsumsi, hingga seniman tato. 

Gwen Stefani adalah satu satunya. Setelah sukses dengan merek Lamb (2004), penyanyi eksentrik itu meluncurkan merek Harajuku Lovers (2005). Stefani terinspirasi mode jalanan Jepang yang berani saat melakukan perjalanan ke Tokyo pada tahun 1996, di mana ia sangat kagum dengan ekspresi diri dan gaya mode para remaja di sana. Kekaguman tersebut tidak hanya dituangkan dalam lagu “Harajuku Girls”, tapi juga diwujudkan dalam sebuah fashion brand.