Home Blog Page 99

In Vino Veritas (1)

0

Minum anggur ada seninya. Pelajari sejarah dan seluk-beluknya agar kita bisa mengapresiasi secara benar.

In vino veritas, dalam anggur ada kebenaran. Begitu ungkapan yang populer di kalangan pecinta anggur. Rasa memang tidak pernah berdusta. Maka, agar kita bisa mengapresiasi dengan benar, ada baiknya mengenali lebih jauh seluk-beluk anggur.

Sejarah anggur atau wine ditulis sejak berabad-abad lalu. Para pedagang Eropa yang datang ke Tanah Hindia berabad-abad lalu membawa serta anggur di samping cerutu sebagai hadiah bagi saudagar di Batavia. Para saudagar muda Jakarta meniru jejak ini ratusan tahun kemudian.

Pada dasarnya, anggur terbagi menjadi tiga jenis: merah, putih dan rose. Ada juga sparkling wine yang masih termasuk varian anggur, atau yang di Prancis dikenal sebagai champagne — sesuai dengan nama daerah penghasilnya, Champagne — yang mengalami proses fermentasi dua kali. Rasanya lebih ringan, biasa dipakai untuk pesta, termasuk di arena balap F-1, yang bunyinya “pop” kalau sumbat botolnya dibuka.

Dari tiga jenis di atas, anggur masih terbagi lagi berdasarkan tahun panen, jenis varietas, bahkan mereknya yang mencapai ribuan. Prancis sering mengklaim diri sebagai penghasil anggur terbaik di dunia — berdasarkan tanah dan iklim yang spesifik di negara itu.

Bahkan, yang disebut terroir — gabungan antara struktur dan kandungan tanah tempat tumbuh pohon anggur, serta cuaca yang memengaruhi wilayah yang bersangkutan — sangat unik, tidak terdapat di negara lain.

Memang, sampai sekarang anggur yang paling populer berasal dari Prancis. Selain karena Prancis mengenal tradisi pembuatan anggur yang terlama, anggur Prancis mempunyai citra yang baik. Selain Prancis (khususnya dari daerah Burgundy, Boedeaux, Loire dan Rhone), sebetulnya anggur diproduksi oleh negara — sebutlah Australia, Italia, Amerika, Afrika Selatan — yang dikenal juga sebagai new world wine.

Yang terang, di alam global yang makin tanpa sekat, penikmat anggur sekarang tidak hanya monopoli Prancis, atau negara-negara produsen anggur yang lahir belakangan. Di mana pun kita mudah memperoleh anggur dari berbagai negara, dengan aneka merek dan jenis — Chardonnay, Semillon, Shiraz, Riesling, Pinot Noir, Cabernet, Sauvignon hingga Merlot.

Selain jenisnya, usia anggur juga menentukan kualitas anggur itu sendiri. Jika tertera angka tahun 1997, artinya panen anggur berlangsung pada tahun itu. Sebelum dipasarkan dalam kemasan botol, anggur sudah melalui beberapa proses, termasuk aging yang lama. “Semakin tua semakin bagus kualitasnya,” tutur Frantz Dumey, Manajer Merek Internasional Barton & Gaustier, merek anggur Prancis yang berdiri sejak 1725.

Sekadar mengingatkan, proses pembuatan anggur secara sederhana dibagi 8 tahap. Yakni, harversing (pemetikan), crushing (pengadukan), maceration (perendaman), fermentation (fermentasi), the 2nd fermentation (fermentasi lanjutan), aging (penyimpanan), blending (pencampuran), dan bottling (pembotolan).

Seni dan Ritual Mereguk Wine

0

Wine memang bukan minuman beralkohol biasa. Ada cara tertentu untuk menikmatinya, juga etiket tertentu sebagai social drink. Memang, banyak acara wine dinner digelar, seperti yang diadakan RISC, yang kita tinggal datang, makan dan minum anggur. Namun, manakala Anda menjadi tuan rumah, ada baiknya Anda mempelajari pernik-pernik yang kelihatan sepele tapi sangat penting artinya, bahkan menunjukkan kelas Anda.

Gelas, misalnya, tidak boleh sembarangan, karena bisa memengaruhi rasa anggur. Maka, jenis anggur yang berbeda disajikan dalam gelas yang berbeda pula. Anggur putih, sebagai contoh, umumnya dituangkan ke dalam gelas yang berbentuk tulip. Adapun gelas anggur merah ukurannya lebih besar, tambun, berfungsi meningkatkan anggur berkontak dengan udara. Sementara itu, sparkling wine atau champagne lebih cocok dengan gelas bertipe flute, yang memungkinkan Anda memandangi secara seksama gelembung yang bermunculan, sehingga keharuman aromanya dapat tercium secara bertahap.

Cara memegang gelas pun ada seninya. Yang lazim — bentuk apa pun gelasnya — adalah memegang bagian batangnya. Maksudnya untuk menghindari jari-jari yang tertempel pada dinding gelas yang bisa mengubah suhu wine.

Pada saat menuangkan anggur dari botol, arahkan langsung ke tengah gelas, sedangkan untuk sparkling wine harus dituangkan berlawanan dengan sisi untuk menjaga gelembung yang muncul. Pada saat menuangkan anggur, isilah gelas tidak lebih dari dua pertiga. Hal ini memungkinkan tamu Anda menggoyang isinya, mencium aroma, dan melihat warnanya.

Dalam jamuan makan malam, sajikan wine kepada wanita didahulukan, juga tamu yang lebih tua, kemudian pria, dan Anda yang terakhir. Selama acara berlangsung, botol wine biasanya terletak di sisi kanan tuan rumah.

Lalu, bagaimana menjodohkan wine dengan makanan? Bagi pemula memang tidak mudah, membutuhkan keahlian dan pengalaman. Red Cabernet mungkin bisa akur dengan beef tenderloin, tapi kurang matching jika dengan ikan gurame goreng. Hakikatnya, anggur merah cocok dengan daging merah, seperti sapi, rusa, kambing, dan lain-lain. Sementara itu, anggur putih lebih klop dengan ikan dan unggas-unggasan. Bon appetit! (Burhan Abe)

SWA, 18 September 2003

The Enjoyment of Good Drink

0

Ketika menerima undangan untuk menghadiri acara Wyndham Estate Dinner, beberapa waktu yang lalu, yang terbayang adalah appetite journey ala Australia. Maklum, warga Australia bukan saja terkenal pemuja dan penikmat wine, yang pada setiap jamuan makannya selalu tersedia wine, tapi Negeri Kangguru itu termasuk salah satu negara baru penghasil wine terpenting di dunia.

Wyndham Estate adalah salah satu wine Australia yang tertua, bahkan boleh disebut sebagai “the first commercial Shiraz planting’s in Australia” karena mereka telah mulai memproduksi Shiraz wine sejak tahun 1828 saat George Wyndham – seorang ahli pertanian asal Inggris yang berimigrasi ke Australia – menanam Shiraz yang dibawanya dari Eropa di sebidang tanah yang diberi nama Dalwood di daerah Hunter Valley, New South Wales, Australia. Inilah salah satu wine yang saat ini penjulannya sangat tinggi dan sering mendapatkan berbagai penghargaan di berbagai kompetisi wine regional maupun internasional.

Penikmat minuman anggur atau wine di Indonesia memang masih terbatas, bahkan hanya kalangan tertentu saja. Tentu sebuah kehormatan kalau bisa bergabung dalam acara wine tasting dengan orang-orang yang memang pakarnya. Bertempat di Cassis Restaurant di Jakarta, pada akhir Maret lalu berkumpul sekitar 60 orang pemerhati minuman hasil olahan buah anggur ini.

Acaranya makan malam yang dirangkai dengan menikmati wine tentu saja. Hadir malam itu Edhi Sumadi, Country Manager Pernod Ricard Indonesia, Yohan Handoyo, Wine Consultan, serta orang-orang yang bergerak dalam bidang resto, kafe, dan hiburan di Jakarta.

Jenis dan ragam wine sudah cukup banyak beredar di Indonesia khususnya Jakarta, bisa dimaklumi kalau komunitas-komunitas pencinta wine pun tumbuh seiring bertambahnya apresiasi masyarakat terhadap jenis minuman ini. Acara icip-icip anggur yang diadakan Wyndham Estate adalah program berkala yang didesain untuk memperkenalkan karakter wine tersebut. Kemampuannya untuk dipadukan dengan berbagai jenis masakan yang berbeda konon menjadi highlight dan kekuatan acara ini.

Wine, kata orang, adalah minuman misterius. Setiap kali kita meminumnya menerbitkan pengalaman tersendiri, yang kadang-kadang hasilnya sering tak terduga. Mereka yang ingin mempunyai pengetahuan lebih soal minuman ini harus sering mencoba, serta berdiskusi dengan ahlinya soal rasa, juga bagaimana memadukannya dengan berbagai macam hidangan, misalnya.

Memang, memilih wine bukanlah perkara mudah, apalagi informasi yang ada biasanya terbatas pada back label yang menempel di botol wine saja. Anggur asal Prancis, konon mempunyai tradisi yang kuat serta karakteristik yang unik.

Tapi New World Wines — yakni anggur “pendatang baru” yang berasal dari ladang-ladang yang tersebar di Amerika, Afrika Selatan, dan Australia –-, yang lebih pekat (full-bodied), tapi rasanya lebih lembut, dan lebih terasa rasa buahnya, ternyata lebih memikat para pecinta wine untuk mencobanya. Itu sebabnya wine dari Australia lebih masuk ke selera orang Indonesia, karena adalah fruit-driven character-nya, seperti Wyndham Estate, misalnya, masih memiliki karakter buah anggur yang kaya dan menawan.

Fruit-driven wine biasanya memiliki cita rasa buah anggur yang khas, fruity, dan gampang diminum dan umumnya juga memiliki tannin (komponen yang membuat wine terasa sepat) dan acidity (yang membuat wine terasa asam) yang tidak terlalu menonjol sehingga tidak akan membuat alis berkerut saat menikmatinya. “konsumen Indonesia yang memiliki preferensi cita rasa yang unik, wine yang memiliki fruit-driven character biasanya lebih mudah diterima dan disukai oleh lidah Indonesia,” tukas Yohan Handoyo, Wine Consultant.

Sejatinya, anggur Australia akan terasa pas jika dipadukan dengan hidangan ala Australia juga, yang didominasi gaya Pacific Rim dan Modern European. Tapi karena karakternya fruity, tidak terlalu asam dan tidak terlalu sepat itulah yang membuat anggur Australia bisa cocok dengan berbagai cuisine style, sehingga tak heran saat ini Wyndham Estate mengklaim sudah bisa menembus ke 47 negara dengan penjualan melebihi satu juta lebih karton per tahun.

The Never Ending Party

0

Kian banyak saja pesta yang digelar la crème de la crème Jakarta. Ada yang memang biang pesta, tapi tak jarang muka baru yang karena keniscayaan ikut tersihir keriaan ini. Pesta, entah corporate ataupun private party, rupanya tidak hanya menjadi ajang gaul, bertukar informasi, dan gosip, tapi juga membangun sebagai membangun networking, bahkan menerbitkan peluang bisnis. (Burhan Abe)

Jalanan Jakarta mulai lengang. Hujan yang turun rintik-rintik menyejukkan kota yang biasanya gerah. Jarum jam sudah bergeser dari 23.00 malam. Tapi, the night is still young!

Setidaknya begitulah menurut para party goers Jakarta. Lihat saja, di Centro, klub yang terletak di basement Darmawangsa Square. Kehidupan justru baru dimulai. Jakarta seperti mengidap insomnia. Hampir setiap malam, terutama akhir pekan, pesta berlangsung di sini. Akhir Januari lalu, misalnya, digelar Playboy Mansion Party. Wow!

Dari namanya saja sudah terbayang, pasti banyak sexy chicks di sini. Benar saja, pesta yang dihadiri para clubbers dan tamu-tamu khusus ini, selain menyajikan berbagai hiburan, juga menampilkan Lingerie Fashion Show yang dibawakan model-model yang seksi.

Musik yang didominasi house yang diramu DJ Vicky dan DJ Jonathan Yao – profesi yang belakangan populer lagi – menambah keriaan pesta. Pukul 00.00 venue yang tergolong baru di kawasan Jakarta Selatan itu makin dipadati pengunjung, mulai dari dance floor hingga table packed. Bahkan di luar pun demikian, antrean pengunjung masih memanjang di pintu masuk.

Centro hanya salah satu contoh, sebab venue-venue penyedia pesta banyak bermunculan di Jakarta. Di wilayah barat ada Millenium, Rajamas, 1001 Club, Stadium, Sydney 2000, di utara ada Hailai. Sementara di pusat dan selatan ada Grand Manhattan, Musro, Retro, Embassy, The Gate, Score!, Bliss, dan Centro. Semuanya tak kurang dari 30 tempat, belum termasuk venue yang menampilkan live performance setiap malam, sekitar 40-an.

Banyak pilihan tempat berpesta. Bahkan Stadium di bilangan Jl. Hayam Wuruk buka tiga malam berturut-turut, mulai dari Jumat malam hingga Senin pekan berikutnya. Sementara The Gate, yang berlokasi di Wisma GKBI Semanggi, setiap Sabtu dan Minggu masih membuka pintunya jam 6 pagi hingga jam 5 sore – menjaring para party goers yang tidak ingin pestanya berakhir. Pengunjung bisa memilih suasana yang ‘panas’ dengan musik progressive di ruang utama atau pun sedikit chill out di restoran yang tersedia sambil menikmati makanan.

Menurut Andrew, Manager Marketing Embassy, dibandingkan dengan Singapura dan Kuala Lumpur, bahkan seluruh wilayah Asia Tengara, Jakarta tergolong lebih maju kehidupan malamnya. “Orang luar negeri bilang di sini exciting, karena banyak klub-klub yang underground, seperti yang di wilayah Kota,” katanya. Di Bangkok saja, katanya, klub hanya buka hingga jam 02.00 pagi. Embassy sendiri, yang berlokasi di bilangan Taman Ria Senayan Jakarta, di akhir pekan buka hingga jam 04.00 pagi.

Selain pesta yang rave dan wild, ada beberapa venue di Jakarta yang cocok untuk private party yang lebih cool. Sebutlah The Velvet Door yang terletak di lantai 18 Hotel Sahid Jaya, dan GM’s Bar yang terletak di lobi utama Hotel Borobudur, untuk menyebut contoh. Selain hotel, ada rumah dan apartemen, seperti Rumah Kertanegara atau The Pakubuwono Residence yang belakangan gencar menyelenggarakan pesta.

“Pesta yang kami gelar sebenarnya jauh berbeda dengan pesta yang umumnya yang kental dengan nuansa dugem. Pesta kami lebih menjurus pada art and culture. Jadi, bukan sekadar hura-hura,” jelas Yunianto Gatot Sedyadi, GM Marketing The Pakubuwono Residence.

Marketing Tools

0

Salah seorang biang pesta yang kerap mengadakan corporate party adalah Tedjo Iskandar, Direktur Tourism Training Center. Selain sering ditunjuk sebagai tour leader, ia juga ditunjuk sebagai perwakilan Emporium – jaringan toko busana dan cendera mata yang berlokasi di beberapa negara, perwakilan salah satu travel agent dari Bangkok dan Hongkong, sekaligus perwakilan Hongkong Tourism Board.

“Kalau saya sering bikin pesta itu tak lebih sebagai rasa terima kasih saya kepada para relasi dan klien saya selama ini yang telah berkunjung ke Emporium,” ujarnya. Supaya para undangan antusias, Tedjo selalu terobsesi membuat pesta yang unik dan menarik.

Beberapa waktu yang lalu, misalnya, ia mengusung tema Sex & Tourism, dengan menghadirkan penulis buku Jakarta Undercover Muammar Emka dan host model dan pemain sinetron Anya Dwinoff. Talk show dengan tema miring tersebut memang sekadar pemikat, selebihnya acara yang digelar di Musro (Music Room), Hotel Borobudur Jakarta tersebut adalah pesta. Makan, minum, musik, games, serta go go dance yang dibawakan oleh para penari seksi, bahkan cenderung sensual.

Yang menarik, sepanjang pesta Tedjo mengedarkan minuman alkohol; bir dan whiskey – tak kurang dari 38 botol Jack Daniels – yang bisa ditenggak dari botol langsung oleh para tamu, serta cocktail yang bisa diminum rame-rame dengan sedoton dari gelas pitcher yang sama. “Dengan alkohol para tamu bisa membaur satu sama yang lain, tidak ada yang jaim (jaga image),” ujar Tedjo yang malam itu menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta.

Dana tentu bukan soal benar, apalagi jika sang penyelenggara ingin memberikan kesan yang mendalam terhadap para tamu. Tapi jangan terburu menyimpulkan bahwa mereka hanya menuruti nafsu hedonisnya, dan semata-mata menghambur-hamburkan uang. Sebab, pesta, apalagi corporate party mempunyai misi bisnis tertentu – minimal membangun citra serta menjaga networking. Dan itu sah-sah saja.

Harap maklum, pesta bisa menjadi sarana ampuh dalam memasarkan produk dengan pendekatan yang sangat personal (one on one). Sejumlah bank papan atas yang menyelenggarakan private banking juga kerap mengadakan pesta terbatas untuk menjaring potential customer.

Barangkali kita juga masih ingat bagaimana Bvlgari menyelenggarkan pesta khusus untuk potential customer-nya, termasuk Miana Sudwikatmono dan mengiriminya tiket pesawat Raffless Class SQ, menyediakan akomodasi terbaik, dan seterusnya. Buntutnya, ya menawarkan produk terbarunya kepada premium customer mereka.

Photo by Matheus Frade on Unsplash

Kita bisa mengungkapkan sederet contoh lain yang menggunakan pesta sebagai marketing tools. Pesta ulang tahun artis remaja yang sedang naik daun, Roger Danuarta dan Agnes Monica, yang disponsori sejumlah produk di mana mereka menjadi bintang iklannya, patut ditengarai mempunyai motif bisnis – minimal untuk mempertahankan, syukur-syukur untuk menggenjot popularitas mereka.

Apakah Anda percaya jika pesta yang diselenggarakan para desainer papan atas, seperti Harry Dharsono, Susan Budiardjo, dan Adjie Notonegoro, hanya semata-mata pesta, mengingat kebanyakan yang diundang adalah crème de la crème yang memang telah menjadi pelanggan atau potential market mereka. So, are you ready for party?

(Burhan Abe/Nurur R. Bintari, W. Setiawan, dan Dwi Wulandari).

Platinum Society Edisi 03/2004

Dari Pesta ke Pesta, Potret Seorang Jet Set

0

Tiada hari tanpa pesta. Begitulah gaya hidup kaum jet set masa kini. Siapa bilang pesta hanya menghamburkan uang dan mereguk kesenangan sesaat. Ada kepentingan bisnis dan pekerjaan, seperti yang diyakini Shirley Pudjiwati, eksekutif Grup Sinar Mas.

Raut muka bahagia dan senyum ramah terus memancar dari wajah para pengelola Cilantro Asian Lounge & Bistro dalam menyambut tamu. Maklum dalam grand opening restoran di lantai 46 & 47 Wisma BNI itu dihadiri sejumlah tamu penting. Terlihat Fauzi Bowo, Wakil Gubernur DKI yang sekaligus meresmikan resto ini, mantan Menteri Orde Baru Cosmas Batu Bara, pengacara Denny Kailimang, Karta dan Sasmita (ayah dan anak pemilik Mega Glodok Kemayoran), para pengusaha, serta eksekutif baik domestik maupun ekspat.

Sebelum naik ke resto di ketinggian 240 meter yang diklaim sebagai resto tertinggi di Indonesia itu, para tamu disambut oleh pertunjukan barongsai, sambil disuguhi snack dan cocktail. Sambutan demi sambutan pun disajikan sebagai pertanda resto secara resmi dibuka. Setelah itu para tamu berhamburan menyantap berbagai hidangan yang menjadi ciri khas resto, yaitu makanan Cina, Thailand dan Jepang. Mereka saling menyapa, alunan musik menghangatkan suasana. Derai tawa sekali-kali terdengar.

Di antara kerumunan tamu terlihat Shirley Pudjiwati yang mengenakan gaun malam berwarna merah menyala dengan dada terbuka yang dibalut scarf. General Manager Divisi Pemasaran Korporat Asian Pulp and Paper Grup Sinar Mas ini, nampak asyik berbincang dengan sejumlah tamu sambil menyantap hidangan. Ia pun nampak akrab dengan pemilik dan pengelola resto. Ini kedua kalinya, SWA mengikuti Shirley menghadiri pesta.

Beberapa hari sebelumnya, wanita lajang ini terlihat hadir di pesta yang digelar Single Executive Club di Upstair, Plaza Senayan, Jakarta. Seperti nama klubnya, acara ini dihadiri para eksekutif berbagai kalangan yang masih bersatus single. Wardiman Djoyonegoro, mantan Mendikbud, juga nampak hadir. Suasananya rileks, ada alunan musik live, serta games yang dipandu model Aimee Juliet. “Memang tidak semeriah sebelumnya, di mana 400 tamu bisa hadir. Mungkin, saat ini banyak anggota yang masih liburan,” papar Shirley, yang ikut membidani lahirnya organisasi nirlaba ini.

Acara pesta memang sering disambangi Shirley. Dalam sebulan bisa 5-10 kali ia menghadiri berbagai pesta, termasuk pesta yang terkait dengan urusan kerja. Ini sesuai dengan undangan yang ada. “Saya selalu menghadiri undangan grand opening kafe-kafe di Jakarta, fashion show, ataupun social charity,” papar kelahiran Surabaya, 23 April 1966 ini. “Itu di luar kegiatan clubbing bersama teman-teman,” tambahnya.

Lulusan Universitas Macquarie, Sydney (Jurusan Statistik dan Sosiologi) dan Careers Business College (Jurusan Hospitality Management), Sydney, Australia ini belakangan sebenarnya tidak begitu suka clubbing dengan musik hingar-bingar. Ia justru lebih memilih suasana yang santai dalam makan malam yang romantis, serta minum wine.

Tidak jarang, bersama gengnya ia menyambangi wine cellar di Hotel Regent atau Hotel Inter-Continental. “Fun rasanya. Berkumpul dan ngobrol dengan teman-teman, membicarakan berbagai pengalaman hidup, termasuk bisnis,” ujarnya seraya menyebut beberapa anggur favoritnya, seperti Chateauneuf du Pape dan Mersault (red wine), Chablis, Puligny-Montrachet dan Moet Chandon (white wine). Untuk acara ritual ini, berlima atau bertujuh, ia bisa menghabiskan Rp 5-7 juta yang dibayar patungan.

Soal busana, wanita yang pernah 10 tahun tinggal di Australia dan bekerja di beberapa perusahan di sana itu menyukai yang simpel, seksi, tapi elegan. “Tapi tentu, harus disesuaikan dengan tema pestanya,” ujar penggemar busana rancangan Giorgio Armani dan Sebastian Gunawan itu. Untuk wewangian ia memakai Chance dari Chanel atau Envy dari Gucci — berbeda dari pemakaian sehari-hari ia lebih memilih Pleasures dari Estee Lauder.

Shirley percaya bahwa aktivitas malam yang dilakukannya bukan sekadar pesta yang menghamburkan uang, melainkan juga untuk memperluas jejaring. Menurut mantan Manajer Customer Service & Merchant Business Diners Club International, Jakarta itu dalam acara-acara yang ia lakoni, selain ada excitement juga bisa bertemu banyak orang. Dalam pesta ia bisa bertemu dengan para pengusaha dan orang-orang sukses. Kalau dibanding dalam acara formal, suasana pesta lebih gampang cair, di samping terasa lebih rileks walaupun ada lobi bisnis.

Ia pun terlibat aktif dalam berbagai kegiatan serupa di beberapa kota besar dunia, misalnya gathering para eksekutif asal Asia Afrika yang diadakan di Singapura. Juga, acara sejenis di Jepang sepanjang tahun 2003. “Maklum, saya kan sering bertugas ke Jepang untuk mengawasi strategi pemasaran di sana,” ujar mantan Direktur Pemasaran Indonesia Professional Association (IPA) ini.

Di luar pesta dan gathering, pengendara Mercedes Benz 300 E ini ternyata juga suka kegiatan olah raga yang kental dengan gaya hidup eksekutif masa kini, seperti boling, arung jeram dan golf. Ia pun rajin aerobik dan kebugaran di Quantum Athletic Club, Menara Imperium Jakarta.

Selain itu, ia dan teman-temannya dari IPA dan Lion’s Club kerap melakukan kegiatan sosial: memberi sumbangan anak-anak asuh mereka, mengunjungi panti asuhan, atau mengumpulkan dana untuk bencana alam. Kendati begitu, “Dalam mengemas acara sosial, harus ada unsur entertainment-nya,” tutur bungsu dari dua bersaudara yang piawai bermain gitar dan piano itu.

Shirley memang tipe wanita yang tidak bisa diam. Di tengah pekerjaan, pesta dan aktivitas sosialnya, ia masih menekuni bisnis pribadinya, yakni galeri bunga Royal Flo di Hotel Shangri-La Jakarta. Usaha baru sekaligus kegiatan menyalurkan hobi ini, menerima pula jasa mendekorasi bunga untuk pelaminan, hand bouquet, dan penataan bunga untuk berbagai acara.

“Saya pernah menata pesta dengan konsep di kapal besar di Hotel Mandarin,” kata Shirley yang fasih pula berbahasa Inggris, Mandarin, dan Jepang. (Burhan Abe & Dede Suryadi)

SWA, 22 Desember 2003

Ballads of Bad Dads

0

Sudah menikah, tapi jarang di rumah. Sudah menjadi ayah, tapi malah sering ke pesta. Mereka adalah pria berkeluarga yang memandang hidup seperti seorang bujangan. Di negeri Paman Bush, orang-orang seperti ini mendapat julukan “Free Dad” karena gaya hidupnya yang urakan. Bagaimana dengan ayah-ayah pro kebebasan yang tinggal di Jakarta? Apakah gaya hidup mereka “bisa dibenarkan”?

Para ayah bangun di pagi hari ketika anaknya sudah berangkat sekolah. Mereka pulang kantor malam hari ketika anaknya sudah pulas tertidur. Waktu bertemu anak hanya mereka habiskan di Sabtu dan Minggu. Itupun kalau mereka tidak harus menyelesaikan pekerjaan ekstra dari kantor. Fenomena seperti itu dilaporkan sebuah majalah berpengaruh di Jepang. Menurut survei yang mereka lakukan terhadap para ayah usia 25-45 tahun, terbukti 77% ayah di Jepang tidak punya banyak waktu buat anak-anaknya. Bagaimana dengan di Indonesia?

Meski belum pernah ada survei khusus mengenai fenomena rutinitas para ayah di kota-kota besar seperti Jakarta, nampaknya fenomena di Jepang tadi juga sudah mulai menulari gaya hidup para ayah di Ibukota.

Sebagai sesama kota kosmopolitan, Jakarta juga menyita jutaan orang untuk lebih banyak berada di luar rumah. Seperti Tokyo, Jakarta juga terhitung sebagai kota yang “hidup 24 jam”. Warganya menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Persamaan ini yang membuat sebagian kalangan orang kota bergaya hidup layaknya orang-orang metropolis di belahan dunia lainnya.

Meski perdebatan soal gender sudah semakin aktual, tetap saja peranan ayah di rumah tidak sebesar peranan yang dibebankan pada para ibu. Meskipun suami-istri bekerja, realitas sosial masih menempatkan istri pada posisi yang memiliki tanggung jawab lebih untuk mengurus rumah. Sebagian besar pria yang tinggal di kota besar bisa saja memaksakan diri pulang setelah jam kantor usai. Namun, sebagian lagi justru memilih untuk tidak langsung pulang.

“Saya paling malas kalau pulang di bawah jam 10 malam,” ujar Raffly Hermansyah, seorang wine supplier ketika ditemui di sebuah bar kawasan Melawai Jakarta. Ia mengaku suntuk dengan pekerjaan sehari-hari. Raffly tidak bisa langsung pulang sebelum “menenangkan” diri di tempat-tempat favoritnya. “Saya sering ke sini, bersama beberapa teman sekantor. Ngobrol-ngobrol sambil cari peluang,” lanjutnya.

Senin dan Selasa merupakan hari wajib baginya bertandang ke wilayah Little Tokyo itu. Kadang ia mampir ke salah satu dari sekian banyak karaoke bar di wilayah yang terkenal dengan escort-escort cantiknya. Sementara Rabu ia biasa memilih kawasan lounge di sekitar Jakarta Selatan, biasanya dibarengi urusan bisnis. “Sebenarnya, susah juga membedakan night life saya dengan urusan bisnis. Karena sering juga saya mengajak prospek partner ke tempat seperti ini,” ujar pria 38 tahun yang biasa berurusan dengan klien-klien dari Asia Timur ini.

Di akhir pekan, Raffly mengaku lebih suka ke wilayah Kota. Meski mengaku bukan seorang frequent visitor, ia tergolong sering mampir ke Stadium. “Dari dulu gaya hidup saya memang seperti ini. Setelah berkeluarga, ternyata saya tidak bisa benar-benar melepaskannya,” ujarnya. Sebagaimana anak-anak muda lainya yang biasa mangkal di tempat seperti itu, kalau Jumat atau Sabtu Raffly juga suka pulang jam 5 subuh.

Lantas, kapan untuk keluarga? Hari Minggu. “Itu satu-satunya hari di mana saya bersama keluarga. Seharian penuh,” akunya bangga. Di hari itu, ia biasa bangun sekitar jam 10 pagi, lalu bermain bersama anak semata wayangnya. Seringkali ia mengajak keluarganya pergi ke luar rumah. Entah ke mal atau tempat-tempat hiburan lainnya. Bagi Raffly, meski jarang pulang, yang penting tetap ada waktu sekali dalam seminggu bersama keluarga.

Apakah kehidupan pria-pria seperti Raffly dapat dibenarkan? Apakah perilaku mereka yang mengutamakan lifestyle di luar rumah tidak akan berdampak buruk pada anak-anak mereka kelak? Apakah di zaman millenium ketiga ini- Raffly dan orang-orang seperti Raffly boleh dijadikan role model seorang ayah yang baik? Dan, apa pula sebenarnya kriteria ayah yang baik?

Lifesyle atau Keluarga?

0

Di Indonesia, atau secara khusus di Jakarta, belum pernah ada penelitian spesifik mengenai absennya peran ayah di tengah keluarga. Namun, sejumlah penelitian luar membuktikan bahwa ketidakhadiran ayah di tengah keluarga dapat menyebabkan masalah pada perkembangan anak-anak mereka. Seperti dikutip www.menweb.org, dalam studi yang dilakukan oleh Kalter dan Rembar dari University of Michigan terbukti 63% anak mengalami problem psikologis subjektif. Di antaranya adalah gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi.

Dalam penelitian itu terungkap pula hubungan antara berkurangnya peran ayah dengan menurunnya kemampuan anak dalam berprestasi. Risiko lain, 43% anak melakukan agresi terhadap orang tua.

Sumber-sumber penelitian ini bisa merefleksikan bagaimana risiko yang akan dihadapi orang-orang yang bergaya hidup bebas. Meski begitu, Raffly terlihat tidak setuju dengan angka-angka di atas. “Menurut saya, kehidupan di luar tidak bisa disamakan dengan kehidupan di sini. Di Timur, peran ibu masih sangat dominan, ayah bekerja di luar rumah saja,” ujarnya.

Raffly percaya bahwa dia bukan satu-satunya figur ayah yang kurang banyak berinteraksi dengan keluarga intinya. Ia juga percaya bahwa dia bisa menjadi figur ayah yang disegani anaknya meski ia terbilang jarang di rumah.

Raffly memang tidak sendirian. Bila ia bekerja di profesi yang sangat berhubungan dengan dunia malam, lain lagi ceritanya dengan Joseph. Sepintas, pria 41 tahun yang bekerja di sebuah perusahaan furniture ini adalah figur ayah yang baik. Namun, jika kita mengetahui bagaimana rutinitas kesehariannya, ia lebih cocok disebut bujangan. Seperti orang-orang Jepang, ia bangun ketika kedua anaknya sudah berangkat sekolah. Ia pulang di atas jam 12 ketika anak-anaknya telah pulas mendengkur. Begitulah yag terulang setiap hari kerja.

“Di awal pernikahan, rutinitas saya memang seperti ini. Setelah punya anak, sempat berubah beberapa tahun. Namun, setelah mereka mulai besar, saya kembali ke rutinitas lama saya,” ujarnya. Seperti Raffly, ia juga yakin banyak ayah yang menjalani rutinitas seperti hidupnya. Lalu, bagaimana tanggapan anak-anak dan istri orang-orang seperti Joseph?

“Pada mulanya istri saya sempat complain. Tapi setelah sekian lama, akhirnya dia tidak pernah mengusik kebiasaan saya ini lagi. Begitu juga anak-anak saya,” ujarnya sambil menambahkan bahwa bukan berarti keluarganya kehilangan hormat padanya.

Ia menceritakan, suatu hari, ia baru saja selesai party di rumah seorang temannya yang berulang tahun. Karena tidak bisa mengontrol diri, Joseph menenggak minuman lebih banyak dari biasanya. Ia pun pulang dengan sempoyongan hingga sampai ke rumah sekitar jam setengah satu malam. Tanpa dia duga, putranya yang berusia 10 tahun baru saja ke luar dari kamar mandi setelah buang air kecil. Istrinya pun terjaga karena Joseph memasuki rumah dengan bunyi-bunyi rusuh.

“Saat itu saya malu sekali pada anak saya karena tidak bisa memberikan contoh yang baik. Sekarang saya sudah bisa mengontrol diri saya agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi,” tutup Joseph yang masih sering keluar-masuk club ini.

Meski menyenangkan, bagaimanapun gaya hidup ayah-ayah bebas ini berisiko terhadap kualitas keluarganya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa gaya hidup seperti ini kerap menjadi pemicu perceraian. Dan yang menjadi korban, siapa lagi kalau bukan anak-anak mereka.

Dalam Journal of Divorce, Harvard University, AS, Rebecca L. Drill, Ph.D, mengatakan, “Akibat perceraian orangtua dan absennya ayah setelah itu memiliki dampak luar biasa negatif terhadap perasaan anak. Sebagai contoh, perceraian orangtua dan kehilangan ayah terbukti berkaitan erat dengan kesulitan anak melakukan penyesuaian di sekolah, di lingkungan sosial, dan penyesuaian pribadi.”

Jadi, pilih lifestyle atau keluarga? (Abe)

20 Agustus 2007

Sumber: Male Emporium

Ballad of Bad Dad

0

Burhanuddin Abe, seorang pria berbadan tegap dengan kulit sawo matang ini merupakan contoh orang yang memilih gaya hidup sebagai free father. Abe, pangilan akrabnya, ditemui di sela-sela kesibukannya yang cukup padat di sebuah coffee shop di Senayan City, berbagi bercerita tentang seluk-beluk kehidupan dan pekerjaannya. Waktunya memang tidak menentu dan tidak dapat dipastikan. Lulusan Fisipol, jurusan Hubungan Internasional UGM ini mengaku bahwa waktunya banyak ia habiskan di lapangan terutama di nightlife.

Kehidupannya dalam keluarga dirasakannya sangat kurang. “Paling hanya Sabtu dan Minggu saja, bahkan kalau tidak Sabtu, ya Minggu,” ujar editor tamu untuk rubrik Marketing Perspective di The Jakarta Post ini. Jika berkumpul dengan keluarga, ia selalu memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin untuk berinteraksi dengan keluarga. Bila tidak ada waktu untuk bertemu, ia pun menyempatkan diri untuk menghubungi keluarga melalui telepon.

Ia mengambil jalan hidup seperti ini, karena kehidupan dan pekerjaannya berada dalam lingkaran lifestyle. Ia sangat menikmati pekerjaan seperti ini. “Paling tidak bisa refreshing sambil menghasilkan uang,” tambah konsultan PR yang pernah bekerja dengan Rhenald Kasali itu. Dengan relasi di lingkaran lifestyle, pria yang pernah teribat dalam program reality show Joe Millionaire di RCTI ini bisa memperoleh penghasilan, menghidupi keluarga dan segala keperluannya.

Berhubung pecinta musik jazz dan dangdut ini bekerja di lingkungan lifestyle, setiap bekerjapun ia seperti bujangan, namun ia tetap ingat bahwa di rumah ada yang menanti. Ketika di luar rumah, ia harus bisa bersosialisasi dengan siapapun dan mengerti kondisi.

Saat di rumah, Abe berperan menjadi seorang bapak yang patut dicontoh oleh keluarga. “Menikah bukan berarti kehidupan sosial kita hilang,” ujar pengelola majalah gratis untuk kaum lajang Jakarta Single: dan Editor in Chief majalah kuliner dan entertainment, Appetite Journey ini.

Banyak keuntungan menjadi free father yang sangat lifestyle. Penggemar salsa ini dapat melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan, dan dapat mengasah kreativitasnya tanpa beban. Namun di sisi yang lain, menjadi orang seperti itu juga tidak gampang. Selain harus jauh dari keluarga, biaya hidup sehari-hari cukuplah besar. “Kalau kita tidak bisa pandai-pandai mengatur dan memanfaatkan pergaulan, kita tidak akan mendapatkan timbal balik yang setimpal. Malah bisa nihil,” tukas penulis buku “50 Usahawan Tahan Banting” dan biografi pasangan Alex – Martha Tilaar ini.

Diakui olehnya, dukungan keluarga sangat besar dalam mengembangkan kariernya. Tapi juga sebaliknya, halangan dari keluarga tentu bisa menghalangi kariernya. Maka ayah dua anak ini selalu memberi pengertian pada keluarga tentang pekerjaan yang sedang dilakoni, sehingga keluarga tidak banyak mengeluh terhadap pekerjaannya.

Dalam kehidupan sebagai free father, sangat diperlukannya family quality time, mengingat sempitnya waktu untuk keluarga, setiap ada kesempatan dimanfaatkan untuk komunikasi dengan keluarga. “Walau ada sebagian pria punya banyak waktu senggang tapi jarang digunakan untuk keluarga, sementara yang tidak punya waktu selalu meluangkan waktu untuk keluarga. Jadi yang lebih baik adalah pria yang sempit punya waktu, tapi perhatian pada keluarga,” tambah kontributor majalah SWA, Platinum Society, ME, dan Her World ini. (20 Agustus 2007)

Sumber: Male Emporium

My Journey to Feel the Light

0

Andreas Darwis Triadi adalah sosok penting di dunia fotografi Indonesia. Sebagai fotografer komersial lelaki kelahiran Solo tahun 1954 ini telah melayani segala pesanan rumit dengan keterampilan rekayasa gambar sesuai dengan permintaan klien. Sementara sebagai seniman foto, ia telah melakukan pengembaraan dalam berbagai macam pendekatan fotografi sesuai dengan tuntutan idealismenya.

Kalau akhirnya kali ini Darwis meneruskan perjalanan kreatifnya dalam My Journey to Feel the Light adalah sebuah keniscayaan. Proyek ini, mendokumentasikan proses pemotretannya dalam sebuah dalam docutainment dalam format video, yang kemudian diteruskan dalam bentuk buku ini, adalah obsesinya sejak dulu.

”Paling tidak saya ingin menunjukkan bahwa saya pernah berbuat. Ini penting sebagai catatan sejarah, bukan untuk kepentingan saya pribadi, tapi untuk publik yang lebih luas,” ungkap anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Sumantri Brotosewoyo-Sukarti ini.

Memang, ini bukan ide orisinal, sebab banyak fotografer yang sudah melakukannnya. Apalagi dengan adanya media TV yang berkembang pesat sangat mungkin proyek seperti ini sudah banyak diproduksi. Di luar negeri kita memang sudah bisa menyaksikan karya-karya dokumentasi fotografi yang bagus dan menarik. Tapi di Indonesia, lelaki yang pernah menjadi pilot di perusahaan charter flight selama 1,5 tahun sebelum memutuskan menjadi fotografer itu, sering merasa geregetan, karena fotografi hanya selintas saja, tanpa pernah menjadi fokus utama.

Mengapa Yogyakarta? Karena kota ini sudah tidak asing bagi Darwis Triadi. Pria berkumis yang dibesarkan dalam keluarga modern tapi masih kental dengan nilai-nilai Jawa ini sudah familier dengan Kota Budaya itu. Tentu Yogyakarta bukan tujuan akhir, justru titik awal untuk melangkah menggali kreativitas ke kota-kota lain di Indonesia, lokasi-lokasi yang eksotis, bahkan tidak menutup kemungkinan ke pusat-pusat keajaiban dunia.

Teknik memang penting, yang harus diketahui dan dipelajari oleh seorang fotografer untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Termasuk tuntutan teknologi mutakhir kamera digital di mana gambar bisa dihasilkan secara instan. Tapi bagi Darwis Triadi masa itu sudah terlewati. ”Tahapan yang paling tinggi itu adalah bagaimana merasakan cahaya,” kata ayah dua putri itu sambil menambahkan bahwa tiga fase yang dilalui oleh seorang fotografer adalah fix the light, see the light, dan feel the light.

Menurut Darwis, cahaya adalah unsur yang paling penting dalam fotografi. Hanya saja, ketika memotret di luar ruang (outdoor) ketika sinar matahari tidak bersahabat alias tidak sesuai yang diharapkannya, misalnya tertutup awan, banyak fotografer yang panik. “Padahal, fotograger yang baik harusnya bisa menyesuaikan diri dalam kondisi dan cuaca apa pun. Kita yang create cahaya!” ujar Darwis yang mengaku basic-nya di outdoor itu.

Melalui karyanya kali ini Darwis, yang terjun di fotografi fashion sejak 1979 itu, ingin membuktikan bahwa ia tidak hanya bisa meng-create cahaya, tapi juga menangkap objek, sehingga menghasilkan gambar dengan angle dan komposisi yang kadang-kadang tidak dipikirkan dan dilihat mata orang kebanyakan.

Di era kamera digital ini ada yang berpendapat bahwa faktor teknik tidak lagi dominan. Orang awam bisa menghasilkan gambar bagus dari kamera pocket digital dengan hanya mengikuti petunjuk yang tersedia. ”Tapi justru itulah tantangan seorang fotografer profesional,” ujar Darwis yang biasa menggunakan Canon EOS-1 Ds Mark II (16 Megapixel), kamera SLR yang tercanggih, serta kamera medium format menggunakan digital back Phase One H10 (10 Megapixel).