Home Blog Page 38

Sake

0

SAKE sudah menjadi bagian dari tradisi dan kebudayaan Jepang. Minuman yang juga disebut nihonshu atau seishu itu menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang berkunjung ke sana. Setiap awal atau akhir tahun selalu diadakan Festival Sake di Kyoto, dan para wisatawan bisa mencicipi berbagai jenis sake dari produsen ternama di Negeri Sakura itu.  

Sake terbuat dari beras, air, dan koji (sejenis ragi) yang difermentasi. Bukan sembarang minuman, karena bahan yang digunakan adalah beras dan air khusus, yakni air pegunungan atau air yang berasal dari salju yang mencair seusai musim salju.   

Ada yang membedakan antara sake dengan shochu. “Shochu biasanya terbuat dari kentang atau gandum (walaupun ada juga yang berasal dari beras). Prosesnya juga berbeda karena melalui penyulingan, mirip pembuatan wiski ataupun vodka. Sementara itu, pembuatan sake lebih mirip wine, dengan peragian,” sake sommelier Kuniko Shigeta memaparkan.  

Sake mempunyai sejarah panjang, bahkan minuman tradisional Jepang itu sudah dikonsumsi dan digunakan dalam upacara keagamaan selama lebih dari 2.000 tahun. Minuman beralkohol telah diproduksi di kuil untuk upacara agama Shinto, yakni dipakai dalam ritual pembersihan candi yang dipersembahkan untuk para dewa. Sake juga digunakan dalam Sansankudo, upacara yang dilakukan sepasang pengantin Shinto, dengan menyesap minuman selama pernikahan.   

Lain dulu lain sekarang. Kini sake tak hanya menjadi minuman yang dikonsumsi untuk kepentingan ritual keagamaan atau perayaan, tapi telah menjelma sebagai teman saat menikmati suasana santai bersama keluarga, rekan, ataupun orang terkasih.   

Meski telah menjadi bagian dari gaya hidup, seni dan tradisi menikmati sake masih dipegang teguh. Sake disuguhkan dalam botol keramik, yang dikenal dengan tokkuri, dan cangkir kecil berbahan porselen, yang disebut ochoko.  

Selain itu, sake boleh dituang menggunakan satu tangan, tapi pastikan tangan yang lain menyentuh tangan yang memegang botol, atau gunakan kedua tangan untuk memegang botol. Pastikan pula sake tidak dituang ke cangkir sendiri karena dianggap tidak sopan. Dahulukan cangkir milik orang yang berusia lebih senior.   

Mengutip Kikusui-sake.com, bila sake disajikan dalam suhu dingin, disarankan memakai cangkir keramik atau gelas kecil. Jika menginginkan gaya Jepang yang lebih otentik, gunakan cangkir yang lebih kecil lagi. Bagi yang ingin mengkombinasikan dengan hidangan Barat, tuangkan sake dingin ke dalam gelas wine. Kini orang-orang di seluruh dunia sudah dapat menyesap sake tanpa perlu berkunjung ke negeri asalnya.   

Sumber: MALE 156

‘Can You See Music’ by Heineken Green

0

Lebih Dari 9.000 Konsumen ‘Melihat’ Musik Bersama Heineken Green Room

Selama lebih dari dua bulan mengunjungi enam kota besar di Indonesia, Heineken Green Room – Original Sound Experiment akhirnya tiba pada puncak acara yang digelar di Colosseum Club Jakarta (10 Oktober 2015), bersama Dipha Barus sebagai performer utama.  

Heineken Green Room dengan eksperimen “Can You See Music?” telah berhasil melibatkan lebih dari 9.000 konsumennya untuk melihat dan bereksperimen langsung dengan musik EDM dan teknologi visual selama jalannya acara.  

Antusiasme para penikmat musik EDM dapat terlihat dengan banyaknya pengunjung yang tidak hanya berinteraksi dengan satu sama lain, namun mereka juga asyik bereksperimen dengan teknologi bola raksasa canggih “The Orb” melalui aplikasi mobile Heineken Green Room. Aplikasi ini memiliki berbagai fitur yang menambah keseruan acara seperti fitur selfieyang menampilkan avatar wajah para konsumen pada “The Orb”, fitur monitor dan laporan energi yang dikeluarkan oleh konsumen setelah acara usai, dan adu dance antara konsumen dengan “The Orb”.                

Hasil eksperimen disajikan secara personal dan informatif bagi para konsumen yang hadir melalui aplikasi mobile Heineken Green Room. Melalui fitur “Data Selfie”, konsumen dapat mengetahui hasil eksperimen mereka yang menggambarkan tingkat energi yang berhasil dikeluarkan sebagai hasil rangsangan visual yang ditampilkan oleh “The Orb”. Konsumen juga dapat mengetahui hasil eksperimen akumulatif dari satu malam Heineken Green Room. Hasil eksperimen menarik terlihat dari salah satu acara Heineken Green Room di mana konsumen yang hadir berdansa di Empirica, Jakarta (18 September) mengeluarkan energi yang sama seperti usaha seseorang mendaki Monumen Nasional sebanyak 492 kali.  

Dipha Barus di sela-sela penampilannya mengungkapkan, “Heineken Green Room semakin membuat saya percaya bahwa ada berbagai cara untuk menikmati musik, yang mana tidak hanya terbatas pada pendengaran, namun juga menggunakan seluruh panca indera!”.  

Selain Dipha Barus, beberapa DJ kenamaan Indonesia lainnya seperti Riri, Tiara Eve, dan Mahesa Utara juga turut meramaikan original sound experiment di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Samarinda dan Bali, sejak  Agustus lalu.   

“Kami berharap kesuksesan rangkaian acara Heineken Green Room dapat semakin menginspirasi konsumen untuk menikmati musik dengan cara-cara yang tidak biasa, termasuk di antaranya dengan memanfaatkan teknologi yang semakin maju. Heineken juga akan terus berinovasi menciptakan pengalaman unik untuk penikmat musik EDM dengan eksperimen lain yang tidak kalah serunya di kesempatan mendatang,” ujar Jessica Setiawan, Marketing Manager Heineken.  

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keseruan acara Heineken Green Room, kunjungi @HeinekenID atau cari tagar #HeinekenGreenRoom di sosial media.  Hasil eksperimen Heineken Green Room yang diselenggarakan di enam kota besar Indonesia juga dapat diakses di greenroomindonesia.tumblr.com.  

Sampai jumpa di acara Heineken yang akan datang!

Go Digital

0

Berita tentang tutupnya media cetak menjadi hal yang biasa, dan mendapat tanggapan yang sewajarnya pula. Seperti bom waktu, satu per satu media cetak tutup, ada yang tutup selamanya, ada yang berganti rupa menjadi media daring alias online.  

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi informasi membawa sejumlah perubahan dalam kehidupan masyarakat, termasuk pola mengonsumsi media.  Masyarakat sekarang dapat memperoleh informasi secara cepat dan lengkap dengan adanya jaringan komputer yang saling terhubung secara global. Mekanisme dalam berkomunikasi ditandai dengan penggunaan mutimedia di mana teks, suara, gambar atau grafis dapat diakses sekaligus ke dalam seperangkat media, dan ini  telah mendorong perubahan dalam aktivitas industri komunikasi.  

Teknologi informasi mutakhir telah berhasil menggabungkan sifat-sifat tekhnologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Karakteristik seperti itulah yang selalu dikembangkan para publisher, untuk memenuhi kebutuhan masa kini pembacanya.

Majalah digital, misalnya, mewakili masa kini, tapi belum mendapatkan sambutan yang luar biasa, karena ada hambatan di platform. Di satu sisi, ini adalah produk canggih di gawai terkini, tapi pada saat yang sama, majalah digital jauh lebih statis daripada publikasi tradisional, yang lebih intim dan akrab dengan pengguna atau pembaca.  

Memang, di pasar berkembang, majalah digital yang lahir 2010 membutuhkan beberapa tahun untuk menjadi trendsetter sesuai dengan teknologi yang mendasari. Perlu pemahaman pengelola bagaimana  menghasilkan konten untuk medium baru,  juga sejumlah keterampilan dan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan teknologinya.  

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah mindset tentang bagaimana kita memandang produksi dan penyebaran informasi. Internet memungkinkan kecepatan distribusi informasi, memperluas jangkauan sebarannya, dan memfasilitasi interaksi serta kolaborasi.  

Tetapi, digitalisasi informasi memunculkan tantangan lain. Go digital, sejatinya bukan kata benda, tapi kata kerja yang terus bergerak secara dinamis. Teknologi yang dipakai saat ini bukan berarti selesai, tapi terus berinovasi seiring dengan perkembangan zaman. (Burhan Abe)

Dari Yacht Party ke Afternoon Tea

0

Acara #BrikPiknik selesai, dan kini saatnya me time di Bali, 20 September 2015.

Hanya memperpanjang waktu semalam sebetulnya tidak ada artinya, tapi dengan tanpa beban, tidak melakukan apa-apa pun di Bali, sudah hepi. Bahagia itu sederhana. Tapi mana bisa tidak melakukan apa-apa di Bali, apalagi network sudah terbentuk dengan baik. Begitu posting status di media sosial saja, langsung banyak yang menyapa, beberapa di antaranya melalui jalur pribadi (japri).  

On The Deck – Dragoon 130 Boat

Baiklah, inilah saatnya melakukan perjalanan wisata berikutnya. Yang paling gampang adalah wisata kuliner dari hotel ke hotel, dengan host para PR yang saya kenal. Entah itu dinner atau sekadar “ngopi ganteng”.  

Dewi Shinta dari Ayodya Resort Bali, Nusa Dua (ayodyaresortbali.com) mengundang saya makan malam di Octopus Restaurant, resto yang menyajikan hidangan Italia di hotelnya. Tapi sebelumnya ia memberitahukan bahwa menjelang sunset ada Yach Party di Tanjung Benoa. Penyelenggaranya adalah Dragoon 130 Boat (dragoon130.com/yacht/), yang biasanya melayani para wisatawan di seputar Lombok, tapi kali ini mencoba rute Bali. Wow!  

So, yacht party dulu, sebelum makan malam. Menghabiskan senja di Tanjung Benoa, dan berlanjut dengan makan malam a la Italian fine dining, merupakan pengalaman yang menakjubkan!  

Hari cepat berganti, dan masih ada satu kegiatan lagi yang bisa dilakukan menjelang bertolak ke Jakarta malamnya, yakni mencoba afternoon tea di King Cole Bar, The St. Regis Bali (stregisbali.com). Hotel berbintang lima yang berlokasi di Nusa Dua itu memang sedang gencar melakukan promo program tersebut. Ditemani sang marketing communication manager, Aya Suhastra, serta teman lama anak media, Oky Hartanto, sore itu merupakan penutup yang sempurna!  (Burhan Abe)

#BrikPiknik (1)

0
Hari Pertama
Kelas C
SIAPA yang tidak suka piknik. Itu sebabnya ajakan Deddy Avianto – yang akrab disapa Om Ded, untuk ikutan acara BrikPiknik tidak saya sia-siakan. Di acara yang disponsori Indosat (yang sekalian ingin menguji jaringan 4G LTE di beberapa titik wisata)  itu saya termasuk kloter ketiga, atau “Kelas C”, dengan tujuan Bali,  18 – 20 September 2015.
Bali? Entah berapa kali saya kunjungi pulau indah nan gaul ini, tapi berangkat dengan grup BrikPiknik tentu sangat menjanjikan keriaan, serta tentu juga pengalaman yang berbeda. Apalagi, para pesertanya tergolong seru, dan sering meramaikan lini masa di media sosial.Menurut Kepala Sekolah, demikian kami menyapa Om Ded yang empunya acara, piknik ini bukan sekadar rekreasi, tapi juga arena belajar dan sharing ideas, karena mengajak orang-orang yang hits di bidangnya. Yup, saya hanya mengenal beberapa, selebihnya masih asing – hanya kenal di dunia maya, karena mereka rajin berseliweran di media sosial.

Baper: Bulan, Visca, Abe, Tika, & Daus

Peserta Bali berjumlah 15 orang, ditambah sekitar 8 panitia. Peserta dibagi tiga grup, yakni Rela, Sepik, dan Baper. Di grup yang disebut terakhir itu saya masuk di dalamnya, melengkapi empat nama lainnya:  Daus Gonia, Swastika Nohara, Visca Anastashia, dan Bulanisa.

Begitulah, meski saya tidak mengenal mereka sebelumnya – kecuali Swastika, yang pernah kerja bareng untuk sebuah rumah produksi, tidak melumerkan tekad untuk ikutan acara ini. 
Ternyata, BrikPiknik is magic! “Biarpun tadinya belum sailng kenal, tapi begitu ikut BrikPiknik kita langsung bersahabat, seperti kepompong, kadang ribet kadang rempong!” meminjam kalimat Tika, yang juga dikenal sebagai “Sabai”.
Garuda Wisnu Kencana
Tujuan pertama kami adalah Garuda Wisnu Kencana alias GWK, lokasi wisata yang paling iconic di Bali. GWK sebetulnya proyek yang belum selesai, hanya ada kepala Dewa Wisnu, dan sebagian burung garuda yang belum dirakit menjadi satu.
Terletak di tanjung Nusa Dua, Kabupaten Badung, sekitar 40 kilometer di sebelah selatan Denpasar, areal taman budaya ini direncanakan akan didirikan sebuah landmark atau maskot Bali, yakni patung berukuran raksasa Dewa Wisnu yang sedang menunggangi tunggangannya, Garuda, setinggi 12 meter.Pada saat ini, Garuda Plaza menjadi titik fokus dari sebuah lorong besar pilar berukir batu kapur dengan ruang terbuka seluas 4.000 meter persegi, bisa dipakai event besar dengan kapasitas hingga 7.000 orang. Pilar-pilar batu kapur kolosal dan monumental membuat tempat ini sangat eksotis.

Baper in Minifig
Baper Girls

Pantai Pandawa dan Balangan
Perjalanan berikutnya adalah ke Pantai Pandawa, salah satu pantai terindah di Bali, terletak di Desa Kutuh, Kecamatan Kutu Selatan, Kabupaten Badung. Pantai ini juga dikenal dengan nama Pantai Kutuh, dan kadang juga disebut sebagai “pantai rahasia” karena letaknya tersembunyi di belakang tebing. Tapi sekarang tentu bukan rahasia lagi, karena sudah banyak wisatawan yang berkunjung ke sana.

Pantai Pandawa
Selain tebing-tebing yang tinggi, terdapat patung-patung pewayangan lima pandawa yaitu patung Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Di salah satu tebingnya bahkan terdapat tulisan mencolok “Pantai Pandawa” – rupanya nggak mau kalah dengan “Hollywood”. 
Yang khas di pantai ini adalah kanonya, yang disewakan kepada para wisatawa. Pantainya berbatu-batu, dan ada area air yang cukup luas tanpa ombak di antara bebatuan tersebut, sangat pas untuk berkano ria.
Senja di Balangan
Riyanni Djangkaru & Fitri Tasfiah
Hanya sekitar satu jam kami di Pantai Pandawa. Menjelang senja, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Balangan, yang tidak jauh dari GWK, Ungasan. Pantai ini mungkin tidak setenar Dreamland, misalnya, tetapi tidak kalah dahsyat panoramanyaHampir ada kemiripan dengan Dreamland, pantai ini juga tertutup tebing-tebing, serta harus menuruni bebatuan untuk sampai ke bibir pantai. Konon, di sinilah tempat terbaik untuk menyaksikan matahari terbenam. Sayang, waktu itu langit agak mendung, sehingga keindahan sunset tidak bisa sempurna.

 
Ilvie ‘Cah Ayu’ – Pantai Balangan
Seafood Party
Kunjungan terakhir di hari pertama adalah Pantai Jimbaran, setelah check in dan rehat sejenak di Hotel Eden, Kuta. Pantai Jimbaran, yang berada wilayah Kabupaten Badung, ini merupakan destinasi wajib kalau turis berkunjung ke BalDi sepanjang pantai, restoran dan kafe menawarkan hidangan laut dengan bermacam-macam olahan. Mulai dari ikan, cumi-cumi, kerang, lobster, hingga udang. Hidangan laut disajikan dilengkapi dengan nasi, sayur plecing, sambal, lengkap dengan aneka minuman. Sambil menyantap makanan, musisi jalanan pun beraksi – nggak hanya ada di Yogya, lho! Lengkap sudah keriaan malam itu. (Burhan Abe/Photos: BrikPiknik)

#BrikPiknik (2)

0
Hari Kedua
Benoa Marine Recreation
MENIKMATI pantai sudah, tapi kurang lengkap kalau tidak bermain air, pilihannya di Benoa Marine Recreation (BMR). Sehabis sarapan di hotel, sekitar jam 8 WITA bus bergerak ke TKP, yang menempuh waktu tak lebih dari satu jam.
Kegiatan selama di BMR sangat menyenangkan, karena semua peserta diberi kesempatan untuk mencoba beberapa watersport, yakni main banana boat, parasailing, dan flying donut. Beberapa kawan bahan menambah permainan di luar paket, sebutlah flyboard yang saat ini dipakai visual iklan rokok. Sayangnya, saya sendiri memilih bermaian pasir (aha!) dan nongkrong-nongkrong ganteng saja.
 
Anyway, bermain seharian di pantai, meminjam kalimat Syahrini, adalah “sesuatu banget” bagi anak Jakarta atau anak kota pada umumnya (peserta BrikPiknik ada yang datang dari Yogya, Semarang, dan Surabaya). Pokoknya, puas tanpa ada gangguan pekerjaan.
 
Konten adalah Kunci
Content is a King
Ungkapan itu benar adanya di BrikPiknik. Meski berpiknik ria dan berhepi-hepi, konten tetaplah penting. Maka, di sela-sela kegiatan, para murid Kelas C ini juga sibuk membuat konten, memotret pemandangan (juga selfie) dengan kamera, merekam kegiatan dengan video, bahkan tidak masalah dengan gadget seadanya alias smartphone.
Pada hari pertama saja, baru ketahuan, kalau Regu Baper tidak punya videographer. Apa boleh buat, semua video dibuat dengan ponsel, bahkan editing-nya pun dilakukan di ponsel pula. Dalam waktu sejam, menjelang presentasi, Daus Gonia baru mengunduh aplikasinya di iPhone, dan melakukan penyuntingan dalam waktu 30 menit. Swastika Nohara, yang mantan penyiar, harus mengisi suara terhadap narasi yang ia bikin sendiri, hanya sekali take.
Hasilnya? Baper terpilih menjadi juara dua, posisinya di atas Rela, dan di bawah Sepik (yang mempunyai profesional di bidang video). Selain video, setiap kelompok diwajibkan membuat konten tulisan (yang diposting di blog) dan visual (beberapa foto pilihan). Yang menarik, semua kelompok mendapat hadiah ponsel, serta nomer perdana beserta pulsanya dari Indosat. Lumayan!
 
Juara II
Bali Trick Art Museum
Meski urusan konten (kelompok) sudah selesai. Tapi piknik terus berlangsung. Di hari ketiga kami mengunjungi Bali Trick Art Museum. Museum yang dibuka pada 12 April tahun lalu ini terletak di Jalan Sunset Road 789 Seminyak, Bali.
Bali Trick Art Museum
Gunrock in Action
Illusion
Di museum ini terdapat hampir 80 gambar 3D dengan berbagai macam trik lukisan, seperti menampilkan berbagai gambar binatang, tempat ataupun tokoh ternama, fantasi, dan lain-lain. Sungguh, ini sasaran para fotografer untuk membuat gambar-gambar yang menakjubkan.
Inilah destinasi terakhir #BrikPiknik di Bali. Tapi jangan salah, sebagian besar malah memperpanjang masa pikniknya, hanya sebagian kecil saja yang kembali ke Jakarta (dan Yogya). Sebagian besar malah melanjutkan liburannya ke Lombok dan Gili Terawangan, dan saya sendiri menambah masa tinggal di Bali – ikut Yacht Party dengan Dragoon 130 Boat di Tanjung Benoa, dan wisata kuliner di dua hotel berbintang lima di Nusa Dua, Ayodya Resort dan The St. Regis. (Burhan Abe/Photos: BrikPiknik)

Blues

0

SAMPAI saat ini, blues masih berkesan berat. “Mungkin karena first impression saja. Saat ini saya justru menganggap blues sebagai musik yang paling easy listening dibanding musik pop sekalipun. Dari segi musikalitas, tangga nada dan progresi blues sebenarnya lebih sederhana dibanding genre yang lain,” kata Aryanto Wicaksono, penikmat blues.  

Blues sebetulnya adalah nama yang diberikan untuk kedua bentuk musik dan genre musik yang diciptakan terutama dalam Masyarakat Afrika-Amerika di Deep South di Negeri Paman Sam itu pada akhir abad ke-19 dari lagu rohani, lagu kerja, hollers lapangan, teriakan, dan narasi sederhana berirama balada.  

Ditilik dari sejarahnya, blues berasal dari kata blue, yang dimaknai sebagai kesedihan akibat tekanan terhadap budak kulit hitam Afrika yang berada di Amerika oleh kaum kulit putih pada masa perbudakan. Musik blues juga bisa dibilang merupakan akar dari berbagai genre musik, seperti jazz dan rock.  

Memang, isi lagu blues masa kini tidak lagi berisi tentang kesulitan hidup dan kesedihan para budak. Selain isu lagu yang berubah, yang paling mencolok adalah pada masa awal dulu blues dinyanyikan oleh budak yang tertindas, sedangkan saat ini dinyanyikan atau dimainkan oleh musikus atau penggemarnya.  

Selain itu, awalnya blues hanya dinyanyikan, terkadang diiringi sedikit perkusi sederhana dari tepukan tangan, chain gang, atau bunyi-bunyian lain, sedangkan saat ini sebagian besar lagu blues diiringi alat musik, mulai hanya gitar sampai band lengkap.  

Musik blues pun terus berkembang, bahkan di setiap daerah Amerika melahirkan warna musik blues yang berbeda, seperti Chicago Blues (Muddy Waters, Koko Taylor), Delta Blues (Robert Lockwood jr), East Cost Blues (John Jackson) dan Texas Blues (Mike Morgan & The Crawl).  

Pada awal dekade 60-an musik blues di Amerika turun pamornya, sehingga band-band blues asal Inggris kemudian mengisi kekosongan itu. Sebutlah The Rolling Stones, John Mayal, Eric Clapton, dan Bluesbreaker, yang ikut memberi warna musik blues.  

Modern electric blues adalah sub genre blues yang paling populer hingga saat ini. Dari genre tersebut, lahir puluhan tokoh musik blues seperti B.B. King, Buddy Guy, John Lee Hocker, Jhony Winter, Robert Cray, Taj Mahal, Dave Hole, Stevie Ray Vaughan, dan lain-lain. Gitaris Jimi Hendrix juga termasuk tokoh musik bluesyang paling banyak banyak berpengaruh, karena teknik permainan gitarnya yang didominasi electric sound sangat impresif.  

Keberadaan musik blues di dunia saat ini masih dijaga oleh musikus blues senior yang sangat konsisten, seperti Buddy Guy, Eric Clapton, Robert Cray, dan John Mayall, yang sampai kini masih berkarya.  

Di Indonesia, musik blues mulai naik daun dengan kemunculan Gugun “Blues Shelter”. Band beranggotakan Gugun (gitar), Jono (bas), dan Bowie (drum) itu telah merilis tiga album: Get the Bug (2004), Turn It On(2007), dan Gugun Blues Shelter (2010). Namun gaung musik blues Tanah Air tidak semenggelar musik pop.  

Menurut Hadi Pramono, penggiat blues, tak ada perbedaan antara musik blues pada 1920 dan 1970-an hingga sekarang. Esensinya tetap sama, yaitu sebagai media untuk menyampaikan pesan atas apa yang kita rasakan, perasaan terdalam.  

Komunitas Blues

Dulu komunitas blues dianggap eksklusif, kini sebetulnya semua orang penikmat musik aliran ini bisa bergabung. Adalah Kongko Pambudi, vokalis dan gitaris Electric Cadillac, yang melihat besarnya antusiasme penikmat blues di Jakarta, tapi tidak ada yang mewadahi mereka. Akhirnya, pada 9 Januari 2011, ia berinisiatif membentuk komunitas blues yang diberi nama Break Time.  

Di Break Time, selain berkumpul, jamming, dan sharing, kegiatan lain mereka adalah bedah film atau nonton film bareng, entah film musikal entah konser. Komunitas ini juga bersinergi dengan komunitas musik lain, terutama sesama komunitas blues, antara lain, komunitas blues Yogyakarta, Bogor, dan Bandung.  

Adi Warsita, pengusaha di bidang pariwisata, termasuk pria mapan yang rajin ikut jamming. “Setiap minggu saya harus main musik supaya skill enggak hilang,” kata Adi, yang belajar bermain saksofon dari Maryono (almarhum), sang maestro.  

Sosok Adi bisa dibilang salah satu member “VVIP” mereka. Ketika ia mengadakan perayaan ulang tahun di Eco Bar, datang pula para sahabat untuk menyaksikan kepiawaiannya memainkan blues dengan saksofonnya. Selain di 365 Eco Bar, sejumlah tempat yang sampai saat ini masih sering dijadikan ajang berkumpul penikmat live performance, jam session, antara lain, Warung Apresiasi, Bulungan; Karubaga, Mangga Besar; Maitrin, Jalan Kayu Putih; dan Ruang Putih, Bandung.  

Dari Tanah Priangan, yang dikabarkan memiliki massa pencinta blueslebih banyak daripada Jakarta, tersebutlah nama Hadi Pramono, penggiat blues yang pada 1991-2013 memandu siaran blues di radio Mara Bandung (Blues Mara), dan pada 2013 hingga sekarang di Blues Sonora Bandung. Hadi kerap menyelenggarakan event blues sejak 1995 dan aktif menulis ihwal blues di harian Pikiran Rakyat.  

Mantan ketua komunitas blues Bandung dan penasihat Bandung Blues Society itu juga berjasa mendirikan Perpustakaan Film Musik Blues Bandung pada pertengahan 2000.  

 Sumber: MALE Zone, Majalah MALE 152

Baba Rafi, Kebab Cita Rasa Indonesia, Hadir di Belanda

0

Baba Rafi kembali menorehkan sejarah dengan membuka outlet terbaru pertama di Eropa, 21 September 2015. Gerai terbaru tersebut hadir di kota Alkmaar, Belanda, tepatnya beralamat di Gedempte Nieuwesloot 4b 1811 KT, Alkmaar.  

Belanda merupakan negara Eropa pertama yang menghadirkan franchise kebab ala Indonesia ini. Dengan konsep yang unik, Baba Rafi Belanda ingin memperkenalkan kepada masyarakat Eropa makanan yang lezat dan sehat, serta cocok untuk keluarga. Kota Alkmaar sendiri berada di provinsi Noord Holland, wilayah Utara Belanda. Tempat yang ideal untuk belanja, berwisata di kota tua, dan berjalan-jalan di kota dengan gaya Mediterania. Kota ini juga dikenal dengan makanan keju tradisionalnya.  

Penggagas Baba Rafi, Hendy Setiono menyampaikan, “Tahun 2015 ini menjadi momen yang bersejarah bagi kami dengan resmi hadir di Eropa. Ini adalah outlet restoran Baba Rafi terbesar yang pernah dibangun. Kehadiran Baba Rafi di Belanda adalah refleksi komitmen kami yang tiada berhenti untuk terus berinovasi dan berkreasi serta memperluas pemasaran produk-produk kebanggaan Indonesia ini, sesuai dengan taglinekami, World’s Biggest Kebab Chain!”  

Lebih jauh Hendy menambahkan bahwa ke depan, Baba Rafi akan membuka 10 cabang restoran lainnya di berbagai kota di benua Eropa. Inilah keberhasilan produk  local goes global!, membawa kebanggaan Indonesia ke dunia.    

Sementara itu, Marketing Director Baba Rafi, Nilam Sari mengatakan, “Kami menghadirkan beragam sajian istimewa dan halal di outlet kota Alkmaar di Belanda. Bukan saja ragam khas Baba Rafi yang menjadi andalan dan dikenal sebagai kebab bercita rasa khas Indonesia yang digemari dunia, namun juga kami tawarkan menu salad dan grilled vegetables serta tentu saja berbagai pilihan minuman seperti frozen yoghurt, smoothies, juice, kopi, teh, dan lain-lain.”  

Nilam juga menyampaikan bahwa motto Baba Rafi Belanda adalah menyajikan makanan yang lezat dan baik. Lezat karena Baba Rafi Belanda menyiapkan hidangan dengan cara tradisional dan hanya menggunakan bahan-bahan segar berkualitas tinggi. Baik karena hanya menggunakan bahan-bahan alami dan bergizi. Baba Rafi Belanda menggunakan sebanyak mungkin bahan-bahan makanan organik dan tidak menambahkan pengawet di dalamnya.  

Dalam kesempatan saat pembukaan gerai di kota Alkamaar ini, sejumlah tamu istimewa hadir antara lain tamu kehormatan, Danang Waskito selaku salah satu Sekretaris Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Drs. Renu Lubis dari Jaringan Global Diaspora Indonesia, dan Eduard Roesdi dari Indonesia Satu. Selain itu juga hadir para pemegang saham, pemasok, kontraktor, dan beberapa pihak yang terlibat dalam proyek ini selama beberapa minggu.  

Antusiasme masyarakat setempat terlihat cukup tinggi dengan kehadiran sejumlah besar konsumen yang meramaikan hari pembukaan outlet baru tersebut. Sempat sejumlah wisatawan Jepang yang mengetuk pintu outlet dan bersikeras untuk masuk karena tak sabar ingin mencicipi menu Baba Rafi di sana, sebelum waktunya dibuka untuk umum.  

Merek Baba Rafi memang telah menancapkan namanya dengan memiliki lebih dari 1.200 outlet di seluruh Indonesia dan beberapa negara Asia, yang dibentuk pada tahun 2003 oleh Hendy Setiono dan Nilam Sari di kota Surabaya, Indonesia, sampai pada akhirnya di tahun 2015 hadir di Belanda. Sebelumnya Baba Rafi sudah hadir di Malaysia, Filipina, China, Srilanka, Brunei Darussalam, dan Singapura. (Vox Populi Publicists)

Explore the Kupang Capital, Try Something NEO

0

Archipelago International is proud to present one of their latest NEO hotels – Hotel NEO Eltari – Kupang. Set in the Kupang city, the hotel soaks up the sights, sounds, and ever-increasing number of business and leisure travelers to this up and coming destination.Kupang is the capital of East Nusa Tenggara (NTT) Province and the main hub for the eastern part of Indonesia. Not only a travel hotspot, but an exciting destination in itself.

The heart of the central business district fronts onto a beach which virtually runs the length of the town. There are plenty of places on the island to explore. For nature lovers there’s a beautiful waterfall 45 minutes from Kupang, and in a different direction is a monkey forest and a nearby cave with crystal-clear water to swim in.  

Kupang is the capital of East Nusa Tenggara (NTT) Province and the main hub for the eastern part of Indonesia. Not only a travel hotspot, but an exciting destination in itself. The heart of the central business district fronts onto a beach which virtually runs the length of the town. There are plenty of places on the island to explore. For nature lovers there’s a beautiful waterfall 45 minutes from Kupang, and in a different direction is a monkey forest and a nearby cave with crystal-clear water to swim in.  

Spotting the city’s potential, Archipelago International presents Hotel NEO Eltari – Kupang, primely located close to the historical airport, El Tari. The hotel has been in operation since June 2015 and features 137 stylish and comfortable guest rooms across four categories, as well as a coffee shop, a swimming pool and a spa & fitness center for guests’ enjoyment.

Furthermore and specially for business travelers, Hotel NEO Eltari – Kupang also features three meeting rooms and a ballroom with truly high-speed complimentary internet connection, and ample parking spaces available from the lobby.  

All of the guest rooms are equipped with a full set of amenities and up-market facilities such as mini-bars, coffee makers and top of the line beddings with high knot count cotton linens and duvets. By offering such premium features, NEO hotels stay true to the group’s credo: that well designed and exciting hotels do not need to be expensive.  

“NEO Eltari – Kupang is a fantastic hotel just outside the Kupang airport entrance and with a beautiful panoramic view, we couldn’t have asked for a better location for our first NEO in NTT. The pool and the ballroom are great amenities to draw in the visitors and local businessmen alike, this will be a very successful property and we are proud to have it in our portfolio,” said Winston Hanes, Regional General Manager of Archipelago International.  

Penfolds Celebrates an Unprecedented 25th ‘Winery of the Year’ Award

0

Every year, the Wine and Spirits panel of critics blind taste more than 10,000 wines. From this intense tasting, the best performing wineries are held up for recommendation in the magazine’s annual “Top 100 Wineries of the Year” issue. This year, Wine & Spirits will once again honor Penfolds with an unprecedented 25th ‘Winery of the Year’ Award.  

Penfolds US Marketing, Tim Irwin, states, “It’s wonderful to be among the top 100 wineries selected for this year’s Wine & Spirits Buyer’s Guide.  Such an achievement is held by no other winery in the world and is a testament to Peter Gago and the Penfolds winemaking team.”  

Penfolds Chief Winemaker, Peter Gago, states,  “At Penfolds we often proclaim that we put the wines first.  After 171 years something must be working … our Penfolds Winemaking & Viticultural teams continue to build upon the legacy of generations of their forbears – their hard work, vision and innovational mindsets certainly set the scene many decades ago.  For that we are grateful.  We are also enormously thankful to be recognized by Josh Greene and the Wine & Spirits team – a record 25 times is truly an honor.”  

Penfolds will be featured as a Winery of the Year in the upcoming Wine & Spirits 2015 Annual Buyer’s Guide, on sale mid-October, and will attend the Wine and Spirits Top 100 Tasting in San Francisco on October 20th 2015, joining other distinguished wineries.  

Penfolds has been producing an impressive array of wines since 1844 and indisputably led the development of Australian fine wine into the modern era. The introduction of Penfolds Grange in 1951 forever changed the landscape of Australian fine wine. Since then a series of standout wines, both white and red, have been released under the Penfolds masthead.  

For further info, visit penfolds.com