Home Blog Page 42

Superhero Indonesia

0

BOLEH dikatakan setiap orang memiliki tokoh komik favorit dan superhero tersendiri. Cerita itu bisa diperoleh dari mana pun, salah satu sumber yang paling populer: komik.  

Komik meliputi jenis manga, Marvel, atau DC. Tapi tahukah Anda tokoh superhero asal Indonesia? Ada sejumlah komik yang terkenal pada masa lalu, seperti Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Pangeran Mlaar, Aquinos, Godam, dan Gundala Putra Petir.  

Sayangnya, ketika komik Jepang dan Amerika masuk ke Indonesia, pamor komik lokal langsung menurun. Padahal sejarah mencatat Indonesia memiliki banyak komikus andal dan cerdas yang melahirkan banyak tokoh superhero lokal yang tak kalah dibanding komikus luar negeri.  

Cerita panjang komik superhero Indonesia dimulai dengan munculnya tokoh heroik Sri Asih dan Siti Gahara karya R.A. Kosasih, serta tokoh Putri Bintang dan Garuda Putih karya John Lo, pada era 1950-an. Kemudian pada 1970 hingga 1980-an, komikus lokal menikmati masa kejayaan komik Indonesia. Saat itu yang naik daun adalah Godam, Si Buta dari Goa hantu, Walet Merah, Panji Tengkorak, Jaka Sembung, Bajing Ireng, dan Gundala Putra Petir.  

Dari segi cerita, komik lokal tak kalah dibanding komik impor. Bahkan karakternya memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Panji Tengkorak, yang lahir dari tangan Hans Jaladara, misalnya, digambarkan dengan pakaian compang-camping, bertopeng tengkorak, dan selalu membawa peti mati. Berbeda halnya superhero saat ini, yang menunjukkan adanya kesan wah dengan warna yang mencolok.

Begitu juga dengan superhero besutan Hasmi, Gundala Putra Petir. Jagoan yang satu ini tak kalah tenar pada era 1970 hingga 1980-an. Kostum Gundala mengingatkan kita pada superhero asal Amerika, The Flash, yang memiliki kecepatan super.  

Hanya saja, dari segi penceritaan, Hasmi memasukkan unsur legenda Ki Ageng Selo, yang memiliki kekuatan menangkap petir, sebagai sumber kemampuan karakter Gundala.  

Kemampuan Komikus Lokal

Meskipun sempat kalah pamor oleh komik asing pada 1990-an, kini bermunculan bakat baru di dunia komik yang lebih matang, variatif, dan kreatif. Terinspirasi oleh kesuksesan heroik luar, para komikus itu mencoba mengikut tren superhero yang sedang digemari dan diaplikasikan dalam karya mereka, baik dari segi kostum, cerita, maupun strategi promosinya. Bukan hanya itu, sudah mulai banyak rumah produksi komik yang berfokus mengembangkan dan membangkitkan komikus underground.  

Beberapa karakter sudah dikenal dan menarik penggemar komik, salah satunya Nusantaranger. Penciptanya adalah tim bertalenta, yang terdiri atas Shani Budi Pandita, Tamalia Arundhina, Keinesasih Hapsari Puteri, Sweta Kartika, Indra Arista, M. Bisri Mustova, dan Hendranto Pratama Putra. Nusantaranger merujuk pada serial Jepang, dengan jagoan yang beranggotakan lima orang yang memiliki kekuatan super.  

Komikus lain, Galang Tirtakusuma, menghadirkan kisah superhero Go! Garudaboi, yang dikemas dengan karakter serta cerita yang ringan dan lucu. Seperti pada zaman keemasan komik Indonesia, unsur komedi tak pernah lupa dimasukkan.  

Tak ketinggalan duo partner Aswin M.C. Siregar dan Marcelino Lefrandt menghadirkan karakter Volt pada 2012, di bawah bendera Skylar Comics. Volt adalah superhero yang memiliki kekuatan listrik. Latar cerita diambil dari beberapa tempat di Indonesia, seperti Kota Jakarta, Kepulauan Seribu, dan Gunung Krakatau.  

Tak hanya ingin menarik hati penggemar lokal, go international menjadi mimpi terbesar keduanya. Kini saatnya Indonesia menunjukkan potensi dan karya yang belum sepenuhnya dikenal. Yang terpenting adalah kebangkitan komik Indonesia yang mendorong komikus muda berani berkarya.

Sumber: MALE Zone, MALE 141

The Power of Social Media (2)

0

YouTube bukan sekadar media sosial saat ini. Jutaan orang di dunia telah menikmati berbagai layanan videonya. Awalnya mungkin terlihat remeh, tapi berikutnya adalah sebuah kekuatan. Justin Bieber dan Adele adalah salah dua contoh orang yang berhasil meroket berkat video yang diunggah ke platform ini. Media online yang dibuat 10 tahun yang lalu ini bukan sekadar ajang penunjang komunikasi belaka. Lewat YouTube, justru ada bakat yang mencuat dan menjadikan seseorang selebritas. Mungkin Steve Chen, Chad Hurley, dan Jawed Karim tidak pernah mengira situs buatan mereka, YouTube, menjadi panggung bakat bagi penggunanya.  

Mengapa begitu banyak yang mengunggah video ke YouTube, tapi hanya segelintir yang populer? Ternyata bukan sekadar faktor keberuntungan tak bermain di sini!  

YouTuber yang berbakat biasanya mengerti bagaimana menghubungkan diri dengan budaya pop yang berkembang di tengah masyarakat. Bahkan ia piawai menempatkan diri dengan merespons topik yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat. Salah satunya pembuatan video parodi bisa menjadi jalan cepat meraih popularitas. Video parodi seperti yang dibuat Norman Kamaru semasa menjadi anggota Brigade Mobil, misalnya, berhasil mengangkatnya ke dunia gemerlap, meski ia tak berniat menjadi selebritas.  

Bagi Wisnu Adji, yang terlibat dalam produksi film Toba Dreams, YouTube merupakan wadah buat orang yang memiliki bakat. “Dengan adanya YouTube, orang bisa menyalurkan bakat terpendamnya. Kreativitas pun tidak sebatas akting atau bernyanyi, tapi banyak bakat yang bisa diperlihatkan,” ujar laki-laki yang kerap mengadakan kasting untuk artis film itu.  

 Web 2.0 Di era Web 2.0, media sosial bukan lagi ajang penunjang komunikasi belaka. Pada zaman kejayaan digital ini, informasi apapun bisa menyebar cepat bak virus melalui dunia maya (viral). Melalui  media sosial, seperti cerita di atas, seseorang yang tadinya tidak dikenal masyarakat jadi populer – dari nobody menjadi somebody.  

Lebih jauh, media sosial saat ini ikut menentukan apa yang diperbincangkan masyarakat. Bahkan media mainstream pun memperhitungkan apa yang diperbincangkan di media sosial. Menurut penelitian, 70 persen wartawan juga memiliki media sosial dan mengikuti apa yang sedang ramai dibicarakan, karena mereka harus mencari isu apa yang sedang ramai di masyarakat.  

Pendeknya, kekuatan Internet yang mengubungkan seluruh penduduk dunia, membuat peristiwa sekecil apapun di kota kecil sekali pun, bisa dengan cepat terkoneksi ke seantero jagat. Apalagi bila informasi itu bergulir secara massif  melalui media sosial.  

 Sumber: MALE Zone, MALE 140

Ngenteni Buka Ning Pasar Klewer

0

Ngabuburit serasa berada di Pasar Klewer, Solo

Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1436 Hijriah, 19 Juni s/d 5 Juli 2015, La Piazza Summarecon Kelapa Gading mempersembahkan sebuah kegiatan yang menarik bagi para pecinta kuliner, juga para pecinta kain Nusantara. “Ngenteni Buka Ning Pasar Klewer” merupakan tema yang diangkat dalam festival kuliner yang diadakan sembari menunggu saat berbuka puasa, dibalut dengan nuansa dekorasi Jawa Tengah dengan menghadirkan replika gerbang Pasar Klewer yang ada di Solo.  

Tema tersebut diangkat sebagai salah satu bentuk kepedulian Summarecon kepada para pedagang batik di Pasar Klewer yang tertimpa musibah kebakaran beberapa waktu lalu. Dalam kesempatan ini, selain bisa mendapatkan beragam kuliner lezat, pengunjung juga bisa melihat dan mendapatkan beragam kain batik khas Solo di area Multi Purpose Hall La Piazza dari 36 peserta Bazar Batik Pasar Klewer yang didatangkan langsung dari Solo.  

Liliawati Rahardjo, Direktur Summarecon mengatakan, “Kami tergerak memilih tema Pasar Klewer adalah berawal dari terjadinya insiden kebakaran di Pasar Klewer pada bulan Desember lalu. Kebetulan, Summarecon juga mempunyai event tahunan yaitu Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF), yang diselenggarakan setiap bulan Mei, yang secara konsisten bertujuan menjadi sarana memelihara kekayaan budaya Indonesia, serta mendorong industri berbasis budaya untuk maju. Oleh sebab itu, adanya momentum bulan Ramadhan yang relatif cukup dekat dengan periode penyelenggaraan JFFF, serta kami harapkan akan memberikan keuntungan yang baik bagi usaha mereka, maka kami kolaborasikan pula event Pasar Klewer ini dengan program kuliner ala Solo sebagai alternatif masyarakat berbuka puasa, serta dilengkapi dengan hiburan khas Jawa.”  

Banyak masyarakat umum yang kurang memahami bahwa batik adalah sebuah proses dan bukan hanya sekedar motif, dan betapa sulitnya proses pembuatan batik tersebut. Proses pembuatan batik itu sendiri sebenarnya adalah sebuah kekayaan budaya yang harus dijaga agar tidak punah. Meskipun Batik Indonesia telah ditetapkan UNESCO sebagai “World Heritage”, namun masih membutuhkan berbagai program untuk menjaga kelestariannya. Hal ini pula sekaligus yang membuat Summarecon tergerak untuk turut mensosialisasikannya ke masyarakat serta mendorong kepedulian mereka.  

Bertujuan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai berbagai kualitas batik, maka terdapat dua area pemaparan batik. Pertama yaitu di Multi Purpose Hall, pengunjung dapat mengeksplorasi batik umum dengan kualitas rata-rata dan harga yang lebih terjangkau. Kedua adalah Galeri Batik Eksklusif di La Prisma, yang menyediakan batik-batik terbaik berkualitas tinggi dengan tingkat pembuatan cukup rumit dari Danar Hadi, Djawa, Puro Mangkunegaran, dan Buana Alit Gallery.  

Tak hanya pedagang batik, untuk melengkapi suasana khas Solo, 10 peserta kuliner Pasar Klewer juga khusus didatangkan dari Solo, yaitu Markobar, Srabi Solo Notosuman Ny. Handayani, Jamu Arum Sari, Pukis Telur Kampung Asli & Lekker Solo Sumber Rejeki, Oleh-Oleh Khas Solo Ny. Handayani, Nasi Liwet & Ayam Goreng Kampung Solo Asli Ny. Lany, Selat Segar Galantin & Nasi Langgi Solo, Bakso Pak Min Penumping Solo, Dawet Bu Dermi Pasar Gede Solo, dan Soto Ayam Lek Sri Asli Solo.  

Salah satu yang cukup spesial adalah Markobar, singkatan dari Martabak Kottabarat, menyajikan martabak manis dengan berbagai topping seperti coklat kitkat dan ovomaltine yang saat ini sedang menjadi tren di kalangan anak muda. Di Solo, Markobar berangkat dari usaha kaki lima yang kemudian berkembang menjadi kafe tempat anak muda berkumpul. Usaha ini dirintis oleh salah satu putra Presiden Jokowi.  

Suasana berbuka puasa di event “Ngenteni Buka Ning Pasar Klewer” semakin seru dengan hadirnya berbagai hiburan khas Jawa, antara lain Gamelan, Tari Bedoyo Kirono Ratih yang langsung dibawakan oleh penari dari Keraton Surakarta Hadiningrat pada 19 Juni 2015 pukul 18.30 WIB, juga yang cukup menarik yaitu musik Keroncong yang dibawakan oleh Sundari Soekotjo dan putrinya Intan Soekotjo pada 19 Juni 2015 pukul 19.00 WIB.

Aussie

0

AUSTRALIA posisinya memang berada di bawah, tapi untuk urusan seni melambung tinggi di atas. Melbourne, bahkan disebut sebagai the city of art. Berkeliling Kota Melbourne seolah mengunjungi pameran seni dengan berbagai aliran. Di sepanjang jalan-jalan di kota saja dapat ditemukan beragam karya seni. Bahkan penempatannya sangat menakjubkan.  

Sejak 1850-an, Pemerintah Kota Melbourne mengeluarkan kebijakan mempercantik kota dengan menempatkan banyak karya seni. Sampai 2015, kabarnya koleksi yang ada di dalam kota sudah lebih dari 8.000 karya. Karya-karya itu sangat beragam, mulai karya dalam ruangan, artefak, patung, seni instalasi, tugu peringatan, hingga berbagai bentuk air mancur.  

Sebagai kota yang lekat dengan seni dan kebudayaan, Melbourne merupakan kota di Australia yang sarat dengan hiburan. Berbagai festival diadakan setiap tahun, hingga akhirnya pesta rakyat itulah yang menjadi alasan kuat berkunjung ke kota tersebut. Berikut ini lima besar festival dengan predikat wajib kunjung: Laneway Festival, Melbourne International Jazz Festival, Melbourne International Film Festival, Melbourne Writers Festival, dan Melbourne Fringe Festival.  

The Famous Melbournian Musician Pada 1970-an, Australia kebanjiran musikus dan penyanyi dari seberang lautan. Semua stasiun radio memutar lagu-lagu dari Inggris dan Amerika. Kemudian muncul masalah ketika stasiun radio harus membayar lagu yang diudarakan. Hal itu menimbulkan konflik terbuka antara radio dan lisensi label di Australia. Walhasil, banyak stasiun radio yang beralih ke label independen yang bermunculan di Australia.  

Kondisi tersebut malah menguntungkan musikus di Australia. Para musikus pun menciptakan karya bercirikan warna musik Australia, meskipun ada beberapa yang membawakan cover version penyanyi terkenal. Konflik yang membuahkan kreativitas ini mengangkat nama AC/DC, Sherbet, dan John Paul Young di dunia musik lokal. Di samping itu, media lokal turut mendukung keberadaan musikus lokal yang memperkaya kreativitas mereka.  

Karya orisinal hasil kreativitas mereka pun menjadikan para musikus ini sukses di luar Australia. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, AC/DC, Rose Tattoo, dan Little River Band mereguk kesuksesan di luar tanah air mereka. Diam-diam pula beberapa penyanyi, seperti Olivia Newton-John, mencecap keberhasilan di Amerika. Single-nya Let Me Be There meraih Country Music Association Female Vocalist of the Year pada 1974.  

Keindahan suara Olivia Newton-John mengalahkan musikus asal Nashville, seperti Loretta Lynn, Dolly Parton, dan Tanya Tucker. Kemenangannya itu mengundang protes, karena Olivia Newton-John bukanlah asli Amerika. Namun ia malah dibela oleh penyanyi country lainnya, seperti Stella Parton, saudara Dolly Parton, yang kemudian merilis lagu Ode to Olivia (1976).  

Berbicara tentang Melbourne berarti berbicara mengenai Air Supply, grup yang membawakan lagu-lagu bergenre soft rock. Lirik lagunya dikenal memiliki kedalaman tema tentang cinta, yang disukai pasar, dengan harmonisasi yang sangat kuat. Dua personel grup ini, Russell Hitchcock dan Graham Russell, sangat tersohor.  

Pada 1977, mereka menjadi band pembuka dalam tur Rod Stewart di Australia, yang kemudian membawa Air Supply pada konsernya di Amerika dan Kanada. Tiga tahun kemudian, dengan Lost in Love, mereka mengangkangi Amerika dengan penjualan lebih dari 3 juta keping. Air Supply pun menjelma ibarat pohon besar dengan akar yang sangat dalam.  


Orisinalitas Nomor Satu
Sejumlah nama yang mendulang kesuksesan di luar negeri, di antaranya, Nick Cave and the Bad Seed, Little River Band, Jason Donovan, Kylie Minogue, Dannii Minogue, Tina Arena, dan Jet. Perbedaan adalah kreativitas yang mereka pertaruhkan. Meskipun sepintas memiliki kemiripan dengan musikus dan penyanyi sejenis, sebenarnya musiknya jauh berbeda.  

Seperti dikatakan oleh Nick Cave, musikus dan penulis lagu dari Australia, ada faktor yang membuat mereka dapat menelurkan karya yang baik. Faktor tersebut adalah mencari, mengumpulkan, dan meramu bahan yang ada menjadi sesuatu yang belum pernah tercipta. Identitas para musikus itu sangat melekat pada karya mereka, baik lagu maupun kemampuan musikalitas yang dimiliki. Kekuatan dan bakat itulah yang membuat nama mereka melambung. Perhatikan saja Tina Arena, yang dipuji-puji media di luar Australia sebagai penyanyi yang memiliki karakter vokal yang kuat dan mulus serta pitch yang sempurna.  

Paul Dempsey adalah contoh musikus abad ke-21 asal Melbourne yang memiliki kemampuan memainkan instrumen, mulai piano, gitar, drum, hingga perkusi. Ia terbukti mampu mengolah musiknya dengan baik hingga menghasilkan karya yang dahsyat. Bersama band-nya, Something for Kate, ia mendapat berbagai penghargaan dalam acara musik bergengsi.  

Mengulik Melbourne berarti mengulas pula genre electronic dance. Genre ini sangat populer di kota tersebut sebanding dengan festival yang terselenggara sepanjang tahun. Maka hadirlah School of Synthesis, yang salah satu pemiliknya Davide Cerbone, produser musik bergenre electronic dance. Saking populernya genre itu, ada band rock yang memasukkannya dalam komposisi musiknya, seperti yang dilakukan band Regurgitator dan Rogue Traders.  


Sumber: MALE Zone, MALE 139 http://male.detik.com

Sushi Kiosk: Grab & Go!

0

Gerai Sushi Kiosk hadir dengan konsep baru Grab & Go dan lebih seru. Ini akan jadi pilihan praktis bagi penggemar makanan Jepang yang sibuk dan tidak memiliki waktu banyak untuk makan di tempat.  

Konsep baru Grab & Go dari Sushi Kiosk ini menawarkan konsep unik, di mana customer dapat langsung memilih menu pada rak display yang ada dengan cepat, praktis, simple dan tidak perlu menunggu lama serta langsung membawanya ke meja kasir. Customer dapat menikmati menu tersebut tidak hanya secara take away, namun untuk para penikmat Sushi yang punya sedikit waktu luang dan ingin langsung menikmati di tempat juga bisa. Dan tentu saja dengan jaminan kesegaran bahan makanan berkualitas!  

 Henky Pho, General Manager Shusi Kiosk menyampaikan, “Sushi Kiosk dengan konsep baru Grab & Go ini khusus kami persembahkan untuk para customer setia kami. Dengan zaman yang sudah berubah dan semua serba cepat, customer kami tetap dapat menikmati makanan Jepang kegemarannya dengan praktis dan tentunya berkualitas. Kami berkomitmen untuk tetap hadir dengan bebagai inovasi produk baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan saat ini.”   Lebih jauh, Henky menambahkan bahwa konsep baru dan lebih seru ini hadir dengan ragam menu makanan Jepang yang begitu kaya, mulai dari sushi, sashimi, bento dan onigiri yang dijamin mengundan selera, sesuai kebutuhan dengan harga terjangkau.  

Sushi Kiosk pertama kali hadir di bawah Manajemen PT Sushi Tei Indonesia dan menjadi penggagas konsep Sushi Grab & Go pertama di Indonesia. Selain gerai yang berlokasi di Puri Indah Mall, Sushi Kiosk juga dapat ditemui di Mall Ciputra, Carrefour Lebak Bulus, Mall Alam Sutera, WTC II Sudirman, Giant Ekstra Sentul, Giant Ekstra Bintaro dan Giant Ekstra BSD. Dengan konsep unik dan praktis ini, membuat para penggermar Sushi kini memiliki banyak pilihan karena Sushi Kiosk juga membuka gerainya di Surabaya dan pulau Bali.  

Bagi para penikmat Sushi….., let’s Grab & Go at Sushi Kiosk… and enjoy it!

Pergundikan

0

Kolonialisme tak hanya menyangkut kekuasaan ekonomi, tapi juga eksploitasi kebutuhan seksual. Begitulah, pada masa kolonialisme, pemerintah Belanda melalui kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendatangkan banyak pria tanpa pasangan wanitanya ke bumi Nusantara. Lambat-laun pegawai VOC yang hidup tanpa pendamping itu—walaupun di tanah kelahirannya ada yang berstatus menikah, tapi istrinya tak diajak serta—merasa tertekan karena kebutuhan domestiknya terabaikan.  

Saat itu terjadi kekurangan perempuan Eropa yang sangat besar di daerah pendudukan. Kebanyakan laki-laki Eropa mengatasi masalah kebutuhan seksual mereka dengan menjadikan wanita Asia gundik. Perempuan yang dijadikan gundik adalah budak yang diambil dari India, Filipina, Sulawesi, dan Bali.  

Sejarah mencatat, terjadi ikatan antara pria Eropa dan wanita pribumi Asia akibat kekurangan wanita Eropa. Sayangnya, hubungan tersebut jarang yang berlanjut ke jenjang pernikahan, tapi hanya sebatas pergundikan.  

Hanya saja, di mata Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, pola hidup bersama pria Eropa dengan budak perempuan pribumi mengarah pada berbagai perilaku liar, tidak terkendali, dan membahayakan kepentingan kolonial. Kemudian ia mengeluarkan larangan memelihara gundik di rumah atau tempat lain, yang berlaku pada 11 Desember 1620.  

Walau begitu, Coen juga mengerti lelaki di wilayah pendudukannya harus diberi alternatif, selain pergundikan. Kemudian ia menetapkan kriteria calon pengantin perempuan kulit putih haruslah gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik.  

Akhirnya, demi memenuhi kebutuhan biologis pegawainya, untuk pertama kali didatangkanlah perempuan Belanda yang disebut compagniesdochters. Namun kenyataannya jumlah pernikahan laki-laki VOC dengan perempuan kulit putih hanya sedikit. Yang lebih banyak justru laki-laki Eropa yang memiliki gundik perempuan Asia.  

Nyai Mengurus Tuan

Istilah nyai muncul pada masa kolonial berkaitan dengan sistem pergundikan yang dibuat oleh Belanda. “Konsep tentang nyai muncul pada saat datangnya penjajah Belanda ke Nusantara. Kita tidak pernah mendengar orang Portugis mempunyai nyai,” ujar Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminisme dari Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif.  

Ruth menambahkan, pergundikan di Nusantara merupakan sistem, yang berarti di dalamnya ada struktur, mekanisme, dan tradisi. Istilah seperti selir, nyai, serta lady escort sebetulnya sama dengan pergundikan dalam bahasa Melayu, tapi memiliki perbedaan waktu dan konteks.  

Selir dikenal dalam konteks masa imperium atau kerajaan ketika raja pada masa itu, baik di Nusantara maupun di seluruh dunia, mempunyai perempuan lain di luar istri resminya. Selir biasanya ditempatkan di tempat khusus, sejenis keputren, dan jumlahnya bisa ratusan, bahkan tak terhitung.   Adapun fungsi nyai berbeda dengan selir, walaupun prinsipnya sama. Nyai muncul untuk menjawab kebutuhan pria kolonial, yang lajang ataupun sudah menikah, tapi tidak membawa serta istrinya. Fungsi nyai rupanya tak sebatas urusan domestik, tapi juga meliputi pelayanan seks bagi tuannya.  

Selain perempuan Jawa, Reggie Baay dalam bukunya menceritakan, ada yang mempergundik perempuan Tionghoa dan Jepang. Umumnya yang dipilih peranakan Tionghoa yang sudah satu generasi hidup di Hindia Belanda. Goey La Nio, anak pedagang beras Tionghoa, adalah gundik Eduard Kerkhoven, pengusaha perkebunan teh terkenal pada abad ke-19.  

Nyai Jepang adalah anak imigran Jepang, yang juga bekerja di bidang perdagangan seperti orang Tionghoa. Ada juga perempuan Jepang yang dibawa pemilik rumah bordil ke Hindia Belanda hingga akhirnya hidup dalam pergundikan.  

Pada saat itu nyai Jepang sangat disukai laki-laki Eropa, terutama karena sikap rendah hati dan pengabdiannya. Sifat seperti itu sebetulnya telah dimiliki nyai Jawa dan Tionghoa, tapi menurut lelaki Eropa, nyai dari Negeri Geisha adalah pemenangnya.  

Tapi apa pun, posisi nyai sangatlah lemah di bawah kekuasaan si tuan yang begitu besar. “Relasi antara tuan Belanda dan nyai bisa bermacam-macam. Ada yang tuan Belandanya memperlakukan nyai secara manusiawi, tumbuh cinta di antara keduanya, atau sebaliknya, diperlakukan seperti budak. Ada pula yang hanya butuh anak dari nyai. Ketika si tuan Belanda sudah selesai masa tugasnya di Nusantara, lalu kembali ke Belanda, biasanya anak hasil hubungan dengan nyai ditinggal begitu saja atau dibawa ke Belanda. Hampir tidak ada nyai yang dibawa ke Belanda ketika masa tugas tuannya di Nusantara berakhir,” ujar Ruth. (R. Anandita)  

 Sumber: Features, MALE 138

Adventure to Lombok & Gili Trawangan (1)

0

PEMBERIAN tiket Garuda Indonesia, via Mbak Ainun Chomsun, untuk bepergian ke mana pun, boleh memilih salah satu destinasi dari Sabang sampai Merauke, jelas sangat menarik. Ini salah satu dari program Garuda SocialMiles, yaitu sebuah platform yang komprehensif tentang Indonesia di online dengan tujuan untuk lebih mengenalkan Indonesia kepada dunia.  

Kerajinan Tenun Tradisional, Desa Sukarara

Tadinya saya pengen terbang ke Raja Ampat, yang kata orang, pemandangannya sangat menakjubkan. Tidak heran, banyak resor-resor mewah dibangun di sana. Tapi segera terpikir, hanya dengan selembar tiket pesawat p.p., tentu akan banyak PR yang harus dikerjakan untuk berpetuang ke suatu tempat, mulai dari mencari hotel atau resor, transportasi lokal, makan selama di sana, dan seterusnya, yang tentunya membutuhkan biaya tak kecil.  

Well, maka teringatlah saya dengan seorang teman yang baik hati (dan tidak sombong), Dewi Shintawati, orang perhotelan yang kini menjabat sebagai Regional Public Relations Manager – Bali & Lombok, Archipelago International, mungkin tidak keberatan untuk menjadi sponsor penginapannya, yang propertinya antara lain ada di Lombok (favehotel, Langko Mataram) dan Gili Trawangan (Aston). Raja Ampat sementara lupakan sejenak!  

Gayung bersambut, Shinta – demikian ia biasa dipanggil, tidak hanya menyediakan kamar hotel, tapi juga menyiapkan acara yang lebih heboh, “Adventure to Lombok & Gili Trawangan”, 29 – 31 Mei 2015.  

Blogger Jakarta

Saya boleh mengajak para blogger yang lain dari Jakarta, dan via Mbak Ainun, terkumpullah saya, Mbak Ainun sendiri (bersama Kika, anaknya semata wayang), Ndoro Kakung (bersama istri dan anak), Alle, Dimas Novriandi, Muhamad Imam, dan Ivan Loviano. Shinta sendiri akan mengerahkan sekitar 10 orang media dari Bali. Kunjungan ke Bali memang tidak terhitung, tapi ke Lombok, yang hanya “selemparan batu” justru baru sekarang ini. Memang, beberapa tahun yang lalu, saya pernah menginjakkan kaki ke pulau ini, tapi hanya sejenak sebagai bagian dari perjalanan wisata kapal pesiar “Spice Island Cruise” yang sekarang sudah tidak ada lagi.  

Wisata Kuliner

Pesawat Garuda GA 0434 mendarat di Bandar Udara Internasional Praya-Lombok, jam 09.00 waktu setempat, dan saya langsung bergabung dengan rombongan blogger dari Jakarta, serta awak media dari Bali, ditambah dua kru Trans TV, yang baru tahu belakangan, dari Jakarta. Sarapan di pesawat memang cukup, tapi kurang afdhol kalau belum merasakan kuliner Lombok. Rumah Makan Cahaya yang tak jauh dari bandara adalah sasarannya.  

Belajar Menenun di Sukarara

Rumah Makan Cahaya punya menu andalan Nasi Balap Puyung. Masakan ini memang berasal dari Kampung Puyung, Lombok Tengah, NTB, tapi kelezatannya membuat makanan ini merambah ke kota-kota, seperti Mataram, Lombok Barat. Pedas menjadi ciri khasnya. Selain itu di rumah makan ini pula  tentu ada ayam Taliwang, Lombok yang tak kalah menggodanya, dan jelas maknyus!  

Sukarara, Desa Kerajinan

Hari masih pagi, tapi di Lombok seperti ada dua matahari. Panas! Perjalanan berikutnya adalah Desa Sukarara, yang dikenal sebagai salah satu sentra kerajinan tenun tradisional.  

Desa ini, secara administratif, masuk dalam Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Lokasi Desa Sukarara ini sekitar 25 Km dari kota Mataram atau sekitar 30 menit naik kendaraan, dan sekitar 5 Km dari kota Praya atau 5 menit dengan menggunakan kendaraan pribadi atau taksi.  

Berbagai Motif Tenun

Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Sukarara adalah menenun. Semua perempuan di desa ini diwajibkan bisa menenun, bahkan belum boleh menikah jika belum menguasai ilmu menenun. Dengan alat tenun kayu (tentu, bukan mesin), mereka menghasilkan bermacam jenis kerajinan tangan khas Pulau Lombok. Seperti pakaian tradisional, taplak meja, selimut, selendang, dan lain-lain, dengan motif-motif yang indah. Karena hasil karya yang berkualitas tersebut, desa ini kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung domestik maupun mancanegara. Harga hasil tenunan juga bervariasi, mulai dari selendang seharga Rp 75.000,- (selendang) hinggga Rp 3 juta rupiah (satu set pakaian). Anda juga bisa menemukan baju batik di desa ini, baik batik tulis maupun cap, dengan karakter Sasambo dan Lombok.  

Desa Adat Sade

Desa Adat Sade

Desa Adat Sade, yang kami singgahi berikutnya, mempunyai keunikan tersendiri. Sasak adalah penduduk asli Pulau Lombok, yang saat ini populasinya sekitar 85%. Desa Sasak paling kuno adalah Desa Bayan, tetapi yang paling sering dikunjungi wisatawan adalah Desa Sade, salah satu dusun di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah.  

Rumah di Sade dibangun berbaris di mana yang paling menonjol dan khas Lombok adalah lumbung padi dengan atap berbentuk topi terbuat dari alang-alang. Padi dimasukkan melalui jendela terbuka. Beruga atau ruang upacara berdiri di atas enam pilar dan atapnya juga terbuat dari rumput gajah, memberikan suasana sejuk ketika cuaca terik dan hangat pada malam hari yang dingin.  

Nenek Pemintal Benang, Desa Sade
Batu Akik di Desa Sade

Sebagian besar suku sasak bekerja sebagai petani, sementara kaum perempuan lebih mahir menenun, memproduksi kain ikat Lombok yang indah. Buah tangan mereka bisa dilihat (dan dibeli, tentu) oleh para turis yang berdatangan ke situ. Tidak hanya kain tenun, merchandise yang lain juga mereka jual, bahkan barang yang lagi in, batu akik.

Media dari Bali
Tanjung Aan

Pantai Kuta dan Tanjung Aan

Setelah wisata budaya, kini saatnya menikmati keindahan alam. Pantai Kuta dan Tanjung Aan, adalah dua kawasan wisata pantai di Lombok yang wajib dikunjungi.  

Berbeda dengan dengan Pantai Kuta di Bali,  Pantai Kuta Lombok lebih sepi, jauh dari hituk-pikuk pengunjung. Pantai ini menyuguhkan pemandangan yang lebih alami, pasirnya putih seperti kertas yang membentang luas. Airnya sangat jernih, terlihat gradasi warna biru laut yang menakjubkan.  

Tanjung Aan juga tak kalah ajaibnya. Tak seperti pantai Lombok lainnya, pasir Pantai Tanjung Aan berbentuk bulat seperti merica. Pantai ini langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, dan memiliki garis pantai sepanjang dua kilometer.  Pantai Tanjung Aan sangat tepat bagi Anda yang gemar ber-snorkling dan berenang. Menjelang sore permukaan air laut akan mulai naik, menjadikan pantai ini tempat yang tepat untuk berselancar.  

Favehotel, Langko

Smart Hotel

Perjalanan wisata hari pertama diakhiri wisata kuliner lagi, kali ini dengan menu spesial ayam bakar taliwang, yang disajikan bersama makanan khas Lombok lainnya, plecing kangkung. Menjelang petang, kami pun menuju favehotel Langko Mataram. Terletak di lokasi strategis di pusat Ibu Kota Lombok, hotel ini hanya berjarak 45 menit dari Bandara Internasional Lombok, serta berdekatan dengan kantor Walikota, kantor Gubernur, dan kantor pemerintahan lainnya yang dapat ditempuh dengan jalan kaki.  

Inilah jenis smart hotel yang nyaman untuk beristirahat. Dengan serangkaian fasilitas lengkap, serta desain yang khas, menjadikan hotel ini sebagai standarisasi untuk akomodasi budget di Mataram. (Burhan Abe)

Adventure to Lombok & Gili Trawangan (2)

Gili Trawangan, inilah destinasi kami berikutnya. Perjalanan dari favehotel Langko menuju ke Teluk Nare memakan waktu sekitar 45 menit, dan hanya 10 menit dengan speed boat untuk sampai ke Gili Trawangan. Gili (pulau) ini adalah satu dari tiga gili di Kabupaten Lombok Barat yang memiliki pesona tersendiri. Pantainya masih bersih, dan alam bawah lautnya konon salah satu yang terindah di dunia.  

Gili Trawangan
On Speed Boat

Gili Trawangan termasuk yang paling ramai dibandingkan dengan gili yang yang lain (Gili Air dan Gili Meno), dan sudah dipenuhi oleh resor berbagai kelas, yang bisa disesuaikan dengan anggaran para pelancong. Kebetulan, kami menginap di Aston Sunset Beach Resort, yang lokasinya berada di sisi lain dari pelabuhan Central Gili Trawangan.  

Kendaraan bermotor dilarang keras beroperasi di sana. Sebagai ganti, alat transportasi yang digunakan adalah sepeda dan cidomo, sejenis kereta kuda khas Lombok. Kami memilih naik sepeda, sedang tas dan kopor diangkut cidomo. Meski berpanas-panas ria, tapi sangat menyenangkan, hitung-hitung berolah raga bisa sambil menghirup udara bebas tanpa polusi.  

Welcome Drink

Tidak lebih dari 30 menit kami sampai ke Aston Sunset Beach Resort Gili Trawangan, di lobi kami mendapat welcome drink berupa es kelapa muda. Wow! Bak penawar haus di padang tandus!

Pintu Utama, Aston
One Bed Room Pool Villa

Hotel ini mempunyai 114 kamar yang luas yang kesemuanya memiliki teras pribadi, dan 10 kamar tidur pool villa dan 1 royal suite. Dilengkapi juga dengan kolam renang terluas ditambah pesona indah pulau itu. Dengan keseluruhan fasilitas dan layanan terbaik, resor ini tentu sangat cocok untuk beristirahat, berlibur, dan tentu berpetualang.

Night Market

Tinggal di pulau dengan luas sekitar 340 hektar dengan keliling pulau 7,5 km tentu sebuah ketenangan. Tapi bukan berarti tidak keriaan, justru pada malam hari tidak boleh Anda lewatkan saat berada di sini, menikmati kehidupan malam di Central. Jejeran bar dengan hingar bingar musik membuat malam di Gili Trawangan menjadi meriah.  

Cidomo

Kebetulan, menjelang sunset, Aston juga meggelar acara night market yang menyediakan banyak makanan, baik tradisional Indonesia, western, seafood grill, hingga cocktail. Sambil menikmati Matahari terbenam, para tamu juga diiringi live band yang memainkan musik dalam irama reggae.

Live Music
DJ Echa from Bali

Ketika langit mulai gelap, suasana pun berganti. Party by The Beach, sebuah tema yang pas, apalagi ditambah permainan musik dari DJ yag khusus didatangkan dari Bali. Pecah!

Snorkeling

Saya termasuk jarang berolah raga, juga tak terlalu sering berenang. Tapi snorkeling (selam permukaan) atau skin diving (selam dangkal) katanya wajib kalau berada di pulau ini. Hari ketiga, saya bersama rombongan blogger dari Jakarta dan awak Trans 7 menuju Gili Meno, yang airnya katanya paling tenang dan pemandangan bawah lautnya menakjubkan,  untuk berselam ria (maunya).

Snorkeling di Gili Meno

Semua orang pada akhirnya memang menikmati snorkeling saat itu, kecuali Ndoro Kakung. Siapa yang tidak tergoda. Saya pun ikut nyebur ke laut. Ups, segar! Tapi ternyata saya hanya bertahan beberapa menit saja, dan langsung menepi ke kapal lagi. Tidak hanya ngos-ngosan, tapi juga pusing pala barbie! Maklum, karena faktor “u”. Gagal sudah menemukan ikan nemo dan aneka terumbu karang yang indah. Tapi apa pun, perjalanan kali ini sungguh mengesankan. Keindahan alamnya, kita  bisa menikmati sunset dan sunrise di satu pulau, mengundang untuk datang lagi kelak. (Burhan Abe)

Industri Film Thailand

0

Thailand merupakan negara yang tidak hanya maju dalam bidang pertanian dan pariwisata, tapi industri perfilmannya juga menarik untuk disimak. Kekuatan budaya dan eksotisme tempat wisata yang ditawarkan menyedot wisatawan datang ke negara itu. Hal ini pulalah yang membuat sineas Barat kepincut membuat film berlatar keindahan, bahkan bertema, Negeri Gajah Putih.  

Setidaknya ada dua faktor lain, yang menjadikan negeri tersebut istimewa. Biaya produksi relatif rendah, dan banyak sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. SDM yang memiliki kreativitas dan keahlian yang mumpuni membuat sineas  dari berbagai dunia, entah itu Hollywood, Bollywood, dan negara lainnya mendatangi Thailand.  

Dengan segala yang dimiliki, negara yang tergabung dalam ASEAN itu turut pula membuktikan tidak hanya menjadi tempat syuting film, tapi dapat pula menghadirkan karya besar yang layak diperhitungkan dunia.  

Selain pariwisata yang terangkat, dampak yang lebih luas adalah terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga Thailand. Salah satu contoh destinasi wisata yang saat ini banyak dikunjungi adalah James Bond Island. Wilayah yang terpilih sebagai lokasi syuting James Bond itu adalah The Island of Ko Khao Tapoo, yang berdekatan dengan Phuket. Sejak digunakan dalam produksi film The Man with the Golden Gun, pulau itu masuk destinasi wisatawan dunia.  

The Scariest Movie

Kualitas film yang dibuat oleh Thailand tidak hanya sangat baik, tapi juga beragam. Diversifikasi genre yang dibuat menjadi daya tarik bagi penikmat film. Bahkan beberapa di antaranya mendapat kesempatan tampil di pentas internasional.  

Film The Iron Ladies, contohnya, berhasil menggebrak berbagai festival film dunia. Prestasi itu diraih berkat cerita yang diangkat, yakni mengenai sekelompok transeksual yang membentuk tim voli, yang memenangi kejuaraan tingkat nasional. Kisah itu berhasil memikat penonton hingga hadir kembali sekuelnya pada 2003.  

Thailand tidak main-main memproduksi filmnya. Pada 2003, ketika membuat film The Legend of Suriyothai, dilakukan riset mendalam. Biaya produksi yang dipersiapkan pun besar. Bahkan pembuat film ini melibatkan keluarga kerajaan dan pemerintah hingga diklaim sebagai a true national film.   Namun, di antara kesuksesan yang diraih perfilman Thailand, nama Apichatpong Weerasethakul, sutradara film Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives, menjadi perbincangan yang mengejutkan dunia. Ia banyak dibicarakan dalam perhelatan bergengsi Festival Film Cannes ke-63 pada 2010.  

Sutradara ternama Tim Burton, ketua juri Festival Cannes 2010, menyatakan film karya Weerasethakul tersebut sebagai a beautiful strange dream. Ia menambahkan, film itu dipilih sebagai pemenang karena seakan membuka perspektif yang berbeda, dan tentunya jauh dari bau serta rasa Barat.  

Kehadiran film Thailand dalam Festival Film Cannes bukanlah yang pertama. Dikutip dari CNN, setidaknya ada sekitar 12 film yang berhasil memukau Eropa, termasuk Tears of the Black Tiger (2001), yang menjadi film perdana Thailand yang secara resmi masuk nominasi festival tersebut. Industri perfilman Thailand kemudian dikenal dan memiliki karakteristik tersendiri dalam jenis horor.  

Genre yang ditujukan untuk menakuti penonton ini belakangan selalu dikaitkan dengan Thailand. Film-film horor buatan Thailand memang berhasil menebar ketakutan. Ceritanya sangat menggigit dan suasananya luar biasa mencekam. Sementara Jepang berhasil memberi ciri khas perpaduan modern dengan tema hantu, Thailand menciptakan rasa takut yang berlebih.  

Thailand tergolong produktif merilis film horor. Seperti dilansir oleh IMDb, Alone, 4bia, Coming Soon, dan 13: Game of Death merupakan film horor yang sukses meraih rating dan popularitas. Sementara Shutter, film horor yang dirilis pada 2004, memiliki rating 7,1 persen di IMDb dan rating 81 persen dari penonton dalam Flixster.  

Kuantitas dan kualitas yang saling mengisi dalam film Thailand itu membuat dunia perfilman Barat kini lebih terbuka terhadap kehadiran film Asia. Fenomena film remake dan adaptasi pun berasal dari negara tersebut. Thailand termasuk negara Asia yang memberi kontribusi kepada Hollywood atas kehadiran kembali karya populernya dalam versi baru.  

Sumber: Features by Dedy Sofan – MALE 137

Macau, Pertunjukan yang tak Pernah Berakhir

0

Siapa yang tak kenal Macau. Kota heritage peninggalan Portugis ini memiliki berbagai macam peninggalan sejarah. Di balik tenarnya sebagai kota sejarah, Macau juga memiliki tempat-tempat ‘surga’ belanja yang patut dikunjungi dan pertunjukan-pertunjukan yang dapat memukau para penonton. Kota yang tidak pernah tidur ini selalu menghadirkan hiburan-hiburan yang dapat menarik wisatawan untuk datang ke kota ini, seperti pertunjukan House of Dancing Water, The Dragon Treasure, Bungee Jumping di Macau Tower, festival budaya, Grand Prix hingga kemeriahan lampu-lampu gedung pada malam hari.  

Macau merupakan daerah pemerintahan istimewa Negara Republik Rakyat Cina (SAR-Special Administrative Region) sejak 20 Desember 1999 yang menganut satu negara dengan dua sistem sama halnya seperti Hongkong, dan kota/negara ini memiliki luas 29,2 km2. Macau terdiri atas Semenanjung Macau seluas 9,3 km2, Pulau Taipa seluas 6,7 km2, dan Coloane seluas 7,6 km2 serta perluasan daerah Cotai sebesar 5,6 km2.

Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Cina dan Portugis, namun umumnya mereka lebih sering menggunakan bahasa Cina Canton karena bahasa tersebut dipakai di kalangan pemerintahan untuk semua dokumen resmi dan komunikasi. Sedangkan bahasa Inggris dipakai hanya untuk perdagangan, pariwisata, dan perniagaan.

Mata uang yang digunakan di Macau adalah Pataca, namun mata uang dolar Hongkong juga diterima di kota ini.   Macau mempunyai Museum of Macau yang memamerkan awal terjadinya kehidupan masyarakat Macau selama lebih dari empat abad. Di museum tersebut, juga menggambarkan gabungan dua kebudayaan yang berbeda yaitu Portugis dan Cina yang menekankan karakteristik dua kultur dari kota itu dengan masing-masing kepercayaan dan upacara keagamaan yang berbeda, kehidupan sosial, arsitektur, olahraga, seni, dan makanan.

Dulunya, museum ini bernama Mount Fortress yang dibangun oleh kaum Jesuit sebagai markas besarnya pada 1617-1626 yang merupakan bagian terpenting dari pusat pertahanan kota karena dilengkapi meriam-meriam, barak-barak tentara, sumur-sumur dan gudang senjata untuk persediaan amunisi dan perbekalan selama dua tahun jika terjadi pengepungan. Mount Fortress merupakan pertahanan yang efektif dari serangan Belanda pada 1624, kemudian dijadikan sebagai kediaman gubernur.  

Mount Fortress atau Museum of Macau yang memiliki area seluas 10.000 m2 dibangun bersamaan dengan pembangunan gereja St. Paul yang merupakan icon atau altar dari kota Macau. Reruntuhan St. Paul merupakan tampak depan asli dari gereja Mater Dei yang dibangun pada 1602-1640, bangunan ini hancur karena kebakaran yang terjadi pada 1835, bangunan ini juga bersebelahan dengan sekolah tinggi St. Paul yang juga habis terbakar. Secara garis besar Gereja Mater Dei,  Sekolah Tinggi St. Paul dan Mount Fortress merupakan bangunan Jesuit dan dapat diartikan sebagai Akropolis Macau.  

Tempat Bersejarah

Macau mempunyai 25 tempat bersejarah yang patut dikunjungi, seperti A-Ma Temple yang telah berdiri sebelum kota Macau dibangun. Moorish Barracks dibangun pada 1874, digunakan untuk menampung tentara pemerintahan India yang ditugaskan untuk memperkuat kepolisian Macau. Selain itu, ada pula Lilau Square atau air tanah lilau yang merupakan sumber mata air utama di Macau. Jika meminum air ini, maka kita tidak bisa melupakan kota Macau.  

Tempat lainnya, Mandarin’s House atau rumah bergaya Cina yang merupakan tempat pemukiman tradisional dari tokoh sastrawan Cina yang terkenal yakni Zheng Guanying. Ada juga, St. Lawrence’s Church merupakan salah satu dari tiga gereja tertua di Macau karena didirikan pada abad ke 16. Kemudian, St. Joseph’s Seminary and Church berdiri pada 1728 yang merupakan seminari tua beserta St. Paul’s College yang merupakan implementasi basis utama pekerjaan misionaris di Cina, Jepang dan sekitarnya. Juga ada, St. Augustine’s Square yang menyatukan beberapa gedung seperti Gereja St. Augustine, Teater Dom Pedro V, Seminari St. Joseph dan perpustakaan Sir Robert Ho Tung.