Home Blog Page 89

Sex, Lies, and Sacrifice

0

Wanita-wanita Simpanan

Menjadi simpanan rupanya telah menjadi solusi bagi para wanita untuk mendapatkan hidup layak dan mapan. Kesenangan dan kecukupan materi, mungkin menjadi motivasi utama. Sementara bagi para pria (yang tentunya sudah beristri), inilah petualangan seru, petualangan seks, cinta, dan nafsu, yang harus dibalut dengan dusta dan pengorbanan….

Debrina sudah mengalami pelbagai pahit-getir kehidupan. Berangkat dari keluarga yang miskin, dia terjerumus ke dunia penjaja seks untuk membantu keluarganya. Setelah berhasil mengumpulkan tabungan yang cukup, dia ingin hidup terhormat. Dia ingin punya suami, punya keluarga, punya status. Tapi dia malah terlibat dengan seorang laki-laki yang sudah beristri, yang tidak bisa memenuhi keinginannya, yang hanya bisa menjadikannya wanita simpanan. Lalu suatu hari dia mati……

Jalan cerita yang dramatis itu ada dalam novel Misteri Matinya Wanita Simpanan, karya S.Mara Gd. Bgeituah, wanita simpanan masih menjadi topik yang menarik dalam cerita fiksi, baik sebagai tema utama atau pun bumbu yang justru menjadi seru.

Tapi jangan salah, wanita simpanan bukan hadir dalam cerita rekaan semata, tapi memang ada dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengar saja cerita Nila, 27 tahun, cewek manis asal Surabaya. Semula ia adalah seorang model untuk tabloid pria. Pada sebuah pesta ia berkenalan dengan seorang pria separuh baya yang menurut Nila “simpatik, kebapakan, dan agaknya bisa dijadikan sandaran hidup” .

Jalan cerita pun bisa ditebak. Nila dijadikan wanita simpanan pria yang sudah beristri tersebut. Ia dibelikan rumah mewah, segaa kebutuhannya pun dicukupi. Hidupnya yang semula sederhana berubah drastis menjadi kaya. “Ini sudah menjadi pilihan hidup saya, apa salahnya? Saya menjalaninya tidak setengah-setengah, dan tahu segala konsekwensinya,” tutur Nila.

Konsekwensi? Apa boleh buat, namanya juga “istri simpanan” yang dari penyebutannya saja mengandung ketidakterangan. Ada sesuatu yang ditutup-tutupi, baik dari masyarakat, tapi terutama dari istri pertama dan keluarga yang sudah dibina pertama kalinya. Simak saja kasus ini yang terungkap dalam konsultasi psikologi di surat kabar Minggu yang diasuh Leila Ch Budiman.

“…. mengapa Bu, selama ini yang dibela cuma para istri saja. Padahal kami, yang berstatus the other woman juga menderita. Bu, saya merasa seperti sampah, habis manis sepah dibuang. Tidak pernah diperkenalkan kepada siapa-siapa, dan selalu dipersalahkan orang. Padahal saya dulu disebutnya sebagai “penyelamat” -nya, sebab Bapak datang sambil mengeluhkan istrinya. Saya dilimpahi janji dan puji, akhirnya dibuang saja seperti sampah. Bu, adilkah ini? Mengapa kami tidak ada yang membela ? (“Simpanan” di HI, Jkt)

Memilih menjadi wanita simpanan memang tidak gampang. Selain efeknya berlimpah materi dan keseanngan, harus tahan banting. Tidak hanya disembunyikan, tapi kadang-kadang dilecehkan. Masyarakat cenderung membela membela para istri, sebab mereka beranggapan kehadiran wanita simpanan bisa menghancurkan kebahagiaan sang istri dan merusak keluarganya. Memilih menjadi wanita simpanan adalah memilih sebuah paket hidup yang penuh risiko. Punya kenikmatan dan kemesraan, namun sekaligus dilumuri pahit dan getir.

Petualangan Cinta

Yang jelas, wanita simpanan adalah fenomena. Banyak wanita yang bersedia menjalaninya, banyak pula pria ada yang pria (yang sudah berikeluarga) yang siap mewujudkannya. Setidaknya, itulah pengalaman Julian YS, pengusaha properti yang berusia 49 tahun, ketika bertemu dengan seorang model cantik, sekitar 18 bulan yang lalu. Singkat kata mereka saling tertarik dan berpacaran. Hanya saja, untuk melanjutkan ke hubungan yang lebih serius tidak bisa, karena Julian sudah menikah dan berkeluarga. Yang paling mungkin mungkin bagi Julian adalah menjadikan gadis berusia 21 tahun itu sebagai simpanan.

Bagi Julian, uang bukan masalah. Apapun kebutuhan dan keinginan sang wanita simpanan itu selalu dipenuhinya. Sudah tentu, sebagai kompensasinya, wanita simpanan berdarah Minang – Jawa itu harus bersedia melayani gairah seksualnya. “Saya pikir ini adil. Kebutuhan dia di segi materi saya penuhi, bahkan mungkin sangat berlebihan. Tentu ini ada kompensasinya, dia menemani saya kapan saya perlukan. Di luar itu, terus terang, dia tidak saya beri kesempatan untuk meminta lebih, semisal dikawani secara resmi, atau sampai hamil. Bagaimanapun, saya menutup rapat hubungan gelap ini. Saya tidak mau keluarga yang sudah saya bina 25 tahun hancur berantakan,” tutur pemilik tinggi-berat 172 cm/68 tahun itu.

Julia hanya salah satu. Sebab, nyatanya banyak pengusaha mapan bahan pejabat yang mempunyai wanita simpanan. Para wanita pun, bahkan sejumlah artis ditengarai, banyak yang diam-diam menjalin cinta dengan sejumlah bos dan petinggi negara, dan bersedia menjadi istri simpanan. Dalam istilah psikolog Christine Meaty, ada demand and supply, kebutuhan dan penawawan.

Cinta Sejenis Merasuki Rumah Tangga

0

Mempunyai rumah tangga yang harmonis, tapi mempunyai selingkuhan – sesama jenis lagi. Aha, ternyata ini bukan isapan jempol belaka. Fenomena ini ada di antara kita, pelakunya beragam, mulai dari eksekutif hingga pemain sinetron. Aha…..

Badan tegap dan wajahnya gantengnya sering mewarnai layar televisi Indonesia. Maklum, Ramon (38 tahun), sebutlah demikian, adalah bintang sinetron, yang sering memainkan peran-peran protagonis. Ia memerankan bapak-bapak yang baik, bahkan tokoh dai dalam sinetron sejenis “Hidayah”. Di luar layar kaca, mantan peragawan itu juga dikenal sebagai public figure yang juga baik-baik. Kalau pun muncul di infotainmen, yang disorot adalah soal kehidupan keluarganya, tentang istrinya, serta dua anak balitanya yang lucu. Pokoknya jauh dari gosip serta rumor miring.  

Tapi jangan salah, di luar yang baik-baik itu, Ramon yang menjadi idola masyarakat itu ternyata menyimpan rahasia yang cuma dia dan beberapa teman dekat saja yang tahu. Di luar isterinya, ternyata ada cinta yang lain, orang menyebut “selingkuhan”. Kata sebagian orang hubungan extra marital seperti ini adalah sesuatu yang jamak dalam kehidupan modern. Yang tidak jamak, selingkuhan Ramon adalah seorang lelaki muda, 19 tahun, yang juga artis sinetron pendatang baru. Ya, ia telibat cinta dengan sesama jenis. “It’s my secret identity,” katanya.  

Dua tahun ia ketemu dengan “brondong” tersebut di lokasi syuting dalam sebuah produksi sinetron. Dari pertemuan-pertemuan yang intens itulah Ramon menjadi merasa dekat, dan virus-virus asmara pun merasuk. Semula Ramon merasa aneh dengan perasaannya, tapi lama-kelamaan ia membiarkan perasaan tersebut, dan terjadilah affair yang mengasyikkan! Kehidupan seksual dengan sang isteri relatif tidak terganggu, tapi kini Ramon mempunyai alternatif yang lain, “Ibaratnya, selain ada makanan rumah, saya juga berpetualang dengan menu yang lain,” ungkapnya.  

Aha, cinta sesama jenis alias homoseksual, memang bukan fenomena baru. Biseksual, menyukai lain jenis sekaligus sesama jenis, juga cerita lama. Ramon tentu tidak sendirian. Dengar juga keluhan seorang pasien, sebutlah Alvin, dalam konsultasi seks di media yang diasuh Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, Dokter Ahli Andrologi dan Seksologi.  

“Saya seorang suami berumur 33 tahun, menikah empat tahun lalu, dan telah dikaruniai seorang anak. Walaupun sudah menikah, saya punya kebiasaan yang menyimpang, yaitu senang berselingkuh dengan sesama jenis. Sebelum menikah, sejak berumur 23 tahun, saya sering melakukan hubungan seks dengan seorang pria. Tanpa sepengetahuan istri, saya sering melakukan perbuatan yang menyimpang itu sampai sekarang.  

Bagaimana caranya menghilangkan keinginan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dengan dia? “Saya tahu apa yang saya lakukan itu dosa, apalagi saya sudah berkeluarga. Selama ini hubungan dengan istri saya lakukan seperti biasa, seminggu 1-2 kali. Saya bisa merasa puas, istri juga puas. Lalu, mengapa kalau tidak melakukan dengan pria itu, saya seperti kurang bahagia? Setelah melakukan dengan dia, saya seperti mendapat semangat baru… “  

Jeruk kok Makan Jeruk?

Menurut Wimpie Pangkahila, perilaku seksual di atas tergolong perilaku biseksual, yaitu tertarik dan terangsang kepada sesama jenis, selain kepada lawan jenis.  

Ada dua kemungkinan mengapa Ramon dan Alvin berperilaku biseksual. Pertama, pada dasarnya mereka memang seorang biseksual. Kedua, mereka sebenarnya seorang heteroseksual, tetapi karena mempunyai pengalaman homoseksual sejak masa pranikah sperti Alvin, atau pengalaman erotik yang mengasyikkan dengan sesama jenis seperti Ramon, maka mereka pun terseret ke perilaku biseksual.  

Psikolog Sawitri Supardi-Sadarjoen mempunyai penjelasan lebih lengkap, bahwa orientasi dalam perilaku psikoseksual manusia pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam 3 kategori: heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.  

Berobat Serasa Berlibur

1

Negara jiran Malaysia menjelma menjadi medical destination di Asia. Rumah sakit-rumah sakit di sana mempunyai servis seperti hotel. Sebagian besar pasiennya ternyata orang Indonesia. (Burhan Abe)

Ingin berlibur, dan pulangnya tidak hanya fresh tapi juga tampil keren? Bukan perkara sulit. Saat ini sudah banyak rumah sakit yang menawarkan pengobatan sekaligus paket liburan. Malaysia salah satunya. Rumah sakit-rumah sakit cukup berkelas, terbesar di beberapa wilayah, di antaranya di Penang. Di wilayah kepulauan ini sudah berdiri beberapa rumah sakit berkelas internasional, sebutlah Island Hospital, Adventist Hospital, Mount Miriam Hospital, Lam Wah Ee Hospital, Gleneagles Medical Centre, atau Loh Guan Lye Specialists Centre.  

Mereka menawarkan berbagai paket pengobatan, mulai dari sekadar general check up, operasi penyakit serius seperti jantung, kanker, dan penyakit dalam lainnya, hingga penanganan penyakit orang modern; degeneratif. Klinik untuk ingin mengubah penampilan pun tersedia. Jika Anda berperut buncit, misalnya, datang saja ke Penang, maka program liposuction atawa sedot lemak, akan membuat Anda tampil lebih ramping.  

Demikian juga jika Anda mempunyai problem mata, seperti myopa atau hyperopia, di Island Hospital, misalnya, melalui i-Laser Centre, memberikan pelayanan lasik yang kini sedang ngetren. Operasi mata dengan teknologi laser itu mengubah mata yang tadinya plus, misalnya, dan memerlukan kacamata atau lensa kontak, tidak memerlukan perangkat itu lagi.

Sebagai bagian dari gaya hidup, menurut Nora Hamid, Head of PR/Marketing Department Island Hospital, lasik yang mampu memberi penampilan baru cukup digemari – dan jangan salah pasien terbesarnya justru datang dari Indonesia.  

Selain mata, permintaan untuk bedah kosmetik, misalnya, ternyata terus meningkat, kendati belum sebesar permintaan untuk urusan pengobatan. Itu sebabnya, demikian Nora, Island Hospital kini sedang mengembangkan pelayanan yang berkaitan dengan urusan penampilan, serta life style, seperti bedah plastik, klinik perawatan dan rekonstruksi gigi, dan sebagainya.

“Kelak, orang bisa berlibur di Penang, menjalani perawatan wajah dan tubuh, dan pulang-pulang sudah cantik,” ujar mantan konsultan PR sebuah hotel itu sambil menyebut acara TV The Swan.

Reality show yang terkenal di AS itu memberikan kesempatan kepada wanita biasa untuk tampil cantik menjadi “ratu” dalam waktu tiga bulan, melalui program diet ketat, latihan fisik, terapi psikologis, dan yang kontroversial, operasi plastik yang ditangani oleh para ahlinya – mulai dari pengurangan lemak di beberapa bagian tubuh, pemancungan hidung, sampai perapihan gigi.  

Mewujudkan pelayanan kecantikan (ketampanan) secara terpadu bukan perkara sudah, apalagi peralatan maupun dokter ahlinya cukup tersedia. Mempunyai 40 dokter spesialis di bidangnya, peralatan-peralatan medisnya pun tergolong mutakhir. CT Scan-nya, misalnya, mampu mendeteksi selapis demi selapis tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, sehingga hampir tidak ada penyakit yang terlewat. Di kamar operasi, ada tiga ruang, yang masing-masing mempunyai tekanan udara berbeda.

Lemak Hilang, Pede Terbilang

0

Operasi sedot lemak dan pembesaran buah dada kembali marak seiring pengakuan terbuka sejumlah selebriti yang melakukannya. Tekniknya pun kian aman dan tak menyakitkan. Bahkan bermunculan tour operator yang menawarkan paket wisata medis ke Thailand dan Malaysia – sambil tetirah di resor mewah membuang lemak yang berlimpah!

Dua minggu lebih menghilang dari tanah air, Sita – maaf, nama aslinya saya samarkan – kembali dengan membuat kejutan. Wajahnya sumringah dan selalu menebar senyum. Berbeda dengan kebiasaannya menggunakan baju longgar, kali ini ia datang ke pesta dengan mengenakan baju model kemben yang memamerkan lengan, bahu, sebagian bukit dadanya, serta belahan paha tinggi yang memajang paha dan betis mulusnya. Body Sita memang kelihatan lebih langsing. Pipinya yang biasanya agak gembil (chubby) juga lebih tirus. “Sexy nggak gua?” katanya sambil mengerling genit.  

Sumpah, nilai Sita di mata saya memang naik dua angka. Bukan cuma pesona ragawi. Tampang cemberutnya juga sudah hilang entah ke mana. Ia kelihatan lebih percaya diri. Ketika saya tanya apa yang membuatnya begitu berbeda, ia menjawab sambil tersenyum manis, “Saya baru kembali dari Phuket.”  

Berlibur? Ya. Tapi lebih tepatnya berlibur plus. Wanita pengusaha beranak dua balita ini baru saja kembali dari perjalanan ‘liburan’ ke Thailand. Phuket – juga Chiang Mai dan Bangkok – kini menjadi surga bagi kaum platinum untuk bersalin raga menjadi The Swan. Mereka dilayani bak ratu di rumah-rumah sakit swasta yang lebih mirip resor, namun dengan dokter-dokter spesialis di berbagai bidang. Soal makanan maupun bahasa tak menjadi masalah. Seperli laiknya resor eksklusif, Anda bisa memesan makanan apa saja yang Anda suka. Hampir semua rumah sakit memiliki perawat yang mahir berbahasa asing: Melayu, Mandarin, Jepang, Arab, apalagi Inggris. Para dokternya semua bisa berbahasa Inggris.  

Data Kantor Layanan Ekspor, Departemen Promosi Ekspor Thailand mencatat pada 2003 saja jumlah pasien asing yang menjalani perawatan di berbagai rumah sakit swasta di Thailand mencapai 973.532 dan memberi pemasukan THB 27 miliar (sekitar Rp 6,35 triliun). Seiring dengan promosi gencar yang dilakukan pemerintah Thailand, pada 2005 angka ini melesat menjadi sekitar THB 40 miliar (sekitar Rp 9,4 triliun).  

Kebanyakan pasien asing berasal dari Asia, seperti Cina, Jepang, Korea, dan Indonesia, serta Eropa dan Amerika. Umumnya datang untuk melakukan bedah plastik. Orang Cina umumnya datang untuk membesarkan kelopak mata, sementara Korea, Jepang dan Indonesia umumnya untuk membesarkan payudara, sedot atau bedah lemak dan vaginoplasty­ – mengencangkan kembali organ intim wanita yang mulai kedodoran. Sebaliknya, banyak orang Barat yang datang untuk mengecilkan buah dada yang kebesaran hingga membuat sakit punggung.  

Sejak lima tahun belakangan, tren memperindah penampilan diri memang kian marak saja, termasuk di Indonesia. Ini ditandai dengan kian menjamurnya klinik-klinik yang memberikan layanan kecantikan secara instan ini. Peminatnya bukan cuma para entertainer dan model yang memang harus selalu tampil memukau, namun juga pengusaha dan ibu rumah tangga. “Ada yang karena ingin tampil lebih percaya diri, tapi ada juga yang karena tuntutan suami yang ingin melihat pasangannya selalu tampil sempurna,” tutur Yulfi Herman, pengusaha butik papan atas.  

Seperti juga di Thailand dan Malaysia, klinik-klinik ini melayani mulai dari bedah kosmetik, menanam implant untuk memperbesar payudara, hingga melenyapkan lemak yang tak diinginkan dari bagian tubuh tertentu. Sumber Platinum di sebuah rumah sakit besar menyebut permintaan tertinggi masih membuang lemak berlebih. Bahkan, kini ada beberapa biro perjalanan yang siap melayani permintaan medical trip alias wisata kesehatan ke Thailand atau Malaysia yang dikemas dalam liburan yang menyenangkan. Sambil tetirah di resor mewah Anda bisa membuang lemak yang berlimpah, atau membuat payu dara semakin indah! (Teguh Poeradisastra)  

Platinum Society No. 14 – Majalah SWA, Maret 2006

Berobat sambil Berwisata di Penang

0

Penang, Malaysia, diam-diam telah menjelma menjadi medical destination di Asia. Rumah sakit-rumah sakit di sana mempunyai servis seperti hotel. Sebagian besar pasiennya ternyata orang Indonesia. Pengalaman apa yang mereka tawarkan? (Burhan Abe)  

Singapura sering disebut sebagai medical destination dunia, paling tidak Asia. Memang tidak salah, orang Indonesia pun banyak yang berobat ke sana – tepatnya berobat sambil berwisata. Tapi tidak banyak yang tahu, Malaysia juga menawarkan pengalaman yang tak kalah menariknya dengan Negeri Singa.  

Pertengahan Februari 2006 lalu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Malaysia, tepatnya Penang. Pulau yang eksotis namun infrastrukturnya terbangun rapi ini terdapat beberapa rumah sakit kelas dunia. Island Hospital, Adventist Hospital, Mount Miriam Hospital, Lam Wah Ee Hospital, Gleneagles Medical Centre, atau Loh Guan Lye Specialists Centre, untuk menyebut beberapa.  

Sebagaimana layaknya RS yang profesional, mereka menawarkan layanan medis yang lengkap, mutakhir, dan berorientasi pada pasien. Mulai dari sekadar pelayanan general check up, operasi penyakit serius seperti jantung, kanker, dan penyakit dalam lainnya, hingga pelayanan yang berurusan dengan penampilan, mulai dari sedot lemak, lasik (operasi mata dengan memakai teknologi laser), bahkan bedah kosmetik.  

Saya sendiri melakukan general check up dengan paket executive screening programme di Island Hospital. Dokter ahli mewawancarai saya untuk mengetahui riwayat penyakit, memeriksa, dan mengetesnya dengan peralatan paling mutakhir. Ada Chest X-Ray dan Ultrasound Examination of Upper Abdomen yang memeriksa paru-paru dan rongga tubuh, ada tes jantung dengan memakai treadmil dan peralatan lainnya, serta pemeriksaan urine dan darah. Hasil check up seharga RM 600 (1 RM setara dengan Rp 2.500) itu bisa diketahui hari itu juga, tepatnya memakan waktu total 5,5 jam.  

Alhamdulillah, tidak terdeteksi penyakit yang serius dalam tubuh saya. Hanya saja, kandungan kolesterol saya cukup tinggi. Kandungan kolestrol dalam darah orang normal berkisar 50.26 – 201.03 mg/dl, tapi saya 243.94 mg/dl. Huh!

“Tidak usah risau, orang kota penyakitnya rata-rata memang begitu. Kelebihan kolesterol. Sebenarnya, kolestreol tinggi bisa diturunkan asal pola makan kita benar, menghindari makanan berlemak dan banyak mengonsumsi sayur serta buah-buahan. Jangan lupa, rajin berolah raga,” ujar DR. Chong Keat Foong, Consultant Physician yang menangani saya, menghibur.  

Selain berobat medis, biasanya orang yang memilih berobat ke luar negeri akan memanfaatkan kesempatan untuk berbelanja atau berwisata. Penang sebagai salah satu tujuan berobat mungkin belum begitu banyak diketahui orang Indonesia, khususnya Jakarta. Tapi bagi orang Medan, Penang sebagai twin city begitu dekat, baik secara psikis maupun fisik – hanya 40 menit dicapai dengan pesawat terbang. Yang menarik, jika Anda ber-KTP atau paspor Medan, tidak perlu lagi membayar fiskal jika ke Malaysia.

So, lebih murah ke Penang ketimbang ke Jakarta, misalnya. Bahkan sebuah masakapai penerbangan asal Malaysia yang kini sedang gencar-gencarnya berpromosi menawarkan tiket hemat Medan – Penang hanya Rp 29.999.  

Photo by Zhen Hu on Unsplash

Orang yang belum pernah mengunjungi Malaysia, khususnya Penang, dalam lima tahun terakhir mungkin tidak akan menyangka bahwa negara bagian ini sudah sedemikian maju di segala bidang, termasuk dunia pelayanan kesehatan. Island Hospital, misalnya, yang didirikan pada 1996, melayani berbagai pelayanan kesehatan.

Menurut DR. Chan Kok Ewe, Chief Executive Officer Island Hospital, rumah sakit yang berlokasi di George Town dan mampu menampung kunjungan 400 pasien dan 140 pasien tinggal ini, memiliki kapasitas untuk pembedahan jantung dengan dokter yang berkompeten. Jenis pembedahan yang dapat dilakukan adalah operasi pembuatan by pass jantung (CABG-Coronary Artery By-Pass Graft) dan perbaikan penggantian katup (off pumps and valve replacement).  

Mobile Office is Today’s Office Trend

0
Ika Sastrosubroto glanced at her notebook screen while sipping coffee. That morning she had to send a proposal to a client. She read it briefly and after checking the address, just clicked and the proposal was dispatched to the client. Within seconds, the client received it in her e-mail inbox.

Ika, the director of Momentum Communications Consultant, did not send the proposal from her office but from a cafe in Plaza Senayan, Jakarta. Living in Cibubur, East Jakarta, that morning she did not drive to her office, located in Santa in Blok M, South Jakarta, because later in the morning she had an appointment with another client in the same plaza.

“It’s isn’t just today that it’s like this. Most of the time I’m on the road. I can manage my company from anywhere thanks to my laptop, the Internet and my cell phone,” she said.

Information technology has made everything very simple and easy to do. Thanks to the wi-fi Internet facility, Ika can contact clients online.

“These days any job can be done with ease regardless of where you are, as long as there is a wi-fi area to let you connect to the Internet. To make it even easier, you can simply put a 3G data card into your laptop to be connected to the Internet. And there is a great array of things that you can do, ranging from lobbying to making a presentation, chatting and using e-mail facilities. Internet banking facility also allows you to transfer money,” Ika said.

To many, a conventional office is used only as a workshop where administrative and secretarial work is done. Important work can be done just about anywhere, particularly at meeting points located in most strategic places. Like Ika, many people work while mobile. They are marketing people, management consultants, reporters, writers and people with creative jobs. And, of course, this group includes entrepreneurs managing their own businesses.

People don’t always need an office in which to work. In its conventional sense, an office is where business activities are conducted, but today’s professionals can do their jobs anywhere: in cafes and malls, which have become meeting points. Indeed, in research by a national newspaper, it was found that Indonesians still feel the need to have an office in the physical sense despite the great advance in technology, marked with the introduction of new gadgets with features that make jobs much easier to do. It is expected, however, that with the introduction of 3G technology, more and more people will have mobile offices in Indonesia.

Not only has cell phone technology become increasingly more sophisticated but Internet-based technology has also seen great developments. As a result, mobile offices are also becoming cheaper, easier and more effective.

Take, for example, the VoIP (Voice over Internet Protocol) facility, which makes long-distance communication inexpensive. Vonage, headquartered in Williamsburg, Virginia, U.S., for example, offers a cheap package: US$49.99 per month for local and long-distance calls. Meanwhile Yahoo! Messenger with Voice, GoogleTalk and Skype, offers free services.

To send bulky files, for example, it is not necessary to use a disk and physically deliver it to a client or send it via the Internet, which may take hours. Today there is an online service by Ibackup (www.ibackup.com), which costs just $9.95 per month for storage and sharing space of 5 gigabytes. You simply give your client the password and he or she can access the file.

Besides corporate websites, now there are blogs, web pages that are very easy to make because the various necessary templates are readily available. These business blogs can obviously intensify business communication, either with customers or corporate partners. In short, a company can make use of many technologies today to get ahead in business.

Understandably, much has changed in this Internet and 3G era. Today’s office does not necessarily need space or a building in the conventional sense. A mobile office is a virtual office that is not confined by space or time but it is as effective as an ordinary office, with office hours spanning between 9 a.m. and 5 p.m.

As Jakarta’s traffic gets increasingly worse, the mobile office is very helpful to professionals as it allows them to work efficiently and effectively. The presence of cafes and coffee shops in malls and plazas also make the mobile office concept workable. In the past, comfortable cafes could only be found in star-rated hotels.

Today, coffee shops, whether foreign (Starbucks, Coffee Bean, Dome, Glora Jeans, etc.) or domestic chains (Exelso, Tator, Bakoel Koffie, etc.), can be found anywhere in the city.

These are places to not only drink and dine; they are also cozy places at which to unwind or hang out. Or to just kill time until the traffic eases. More interestingly, they are also highly suitable places where you can get work done, especially since they are wi-fi ready, therefore enabling professionals to work online.

Mall and plaza developers and management companies are aware that people need these spots not only for shopping but also as meeting points that must be complete with facilities that provide comfort and allow people to work easily.

Cilandak Town Square, to mention one example, is not merely a place at which to shop or drink and dine, it is much more than that. It is a lifestyle center. That’s why you can find not only a department store and a supermarket there but also a number of cafes and coffee shops, places frequently used as meeting places by highly mobile people. The presence of these venues helps contribute to the growth of the mobile office.

“On the other hand, the mobile office as a lifestyle has also transformed the concept of a cafe. A cafe is no longer a place at which to just hang out but has become a place to work and do business,” said an executive of the company managing Mal Kelapa Gading in North Jakarta. (Burhan Abe)

The Jakarta Post, January 23, 2007

Combining the Concept of Sports and Lifestyle

0

It is 30 minutes since Stanley started to run on the treadmill. With a headphone covering his ears and his eyes glued to the TV in front of him relaying world news, he is working out in full spirit. “I do this twice a week, which is not bad to keep myself fit,” said Stanley while wiping sweat off his body.

Stanley, who works in an advertising company, is not alone at the gym. Dozens of other people are working out on treadmills or on static bicycles. Their eyes are also glued to TVs affixed to the walls of the gym.

When one visits Celebrity Fitness one can really feel the atmosphere promised by the management. The fitness center is a hive of activity, with fitness buffs working out to the accompaniment of entertaining TV programs. The management has designed the interior with a distinctive style. The concept here is futuristic complemented with flat screen TVs and large speakers. There is also the Cardio Theater. It is a luxury changing room for members that includes a minimalist style caf‚ and lounge. Also available is an attractive spinning and aerobic studio.

Celebrity Fitness, located in upmarket malls such as EX Center and Plaza Indonesia, looks more like an entertainment spot than a fitness club. The management says that a fitness center or club should not only be filled with fitness facilities but can be combined with an entertainment concept. “That way fitness can be fun,” said John Franklin, representing the management during its launch a few years ago.

Maybe a concept combining fitness and entertainment under one roof is refreshing for fitness buffs in Indonesia. Those who used to go the gym with their own walkman or discman can now leave the devices at home. Working out at Celebrity Fitness promises to be enjoyable as 35 strategically located speakers provide soothing company in the form of popular music.

This concept has successfully altered the way people regard fitness centers as places at which to exercises only. The customers of Celebrity Fitness are mostly professionals over 25 years of age who love the cosmopolitan life and to mingle. Since first opening in Jakarta in 2003, Celebrity Fitness has established several branches in the city. All of them are located in malls, which are the hangout of choice these days.

Celebrity Fitness is not the only player in the business. Fitness First has also applied the same concept. Complementing the lifestyle of city people, Fitness First, which has 440 centers all over the world, is also present in Jakarta’s malls and plazas, such as in Plaza Semanggi, Taman Anggrek Mall and Cibubur Junction. At Senayan City it is a larger and more complete and called Fitness First Plus.

Besides the usual fitness facilities and equipment, a spa and a swimming pool can also be found here. Its lounge and VCD rental shop also make it different to other fitness centers. The members’ lounge provides free soft drinks, tea and coffee, while VCDs can be borrowed free of charge for two days.

Celebrity Fitness and Fitness First are indeed pioneers in combining sports and entertainment. They not only offer weightlifting and aerobics classes, but also various exercise facilities with a lot of equipment. About 60 percent of the members are females, and just like on ladies’ nights at nightclubs, a large number of men tend to crowd the places.

Previously, fitness centers in Indonesia were designed as sports centers or were attached to hotels, like Clark Hatch, Odiseus, Life Spa & Fitness Center, MyBody Gym, Body Soul Centre and Quantum. Today, however, fitness centers are setting up in different locations, like malls and entertainment centers. The proliferation of fitness centers is no doubt in response to the needs of city people with a stable, established life.

“Fitness centers have turned into social settings just like other places, say bars or offices,” said Doug McKee, a private fitness trainer at The San Francisco Bay Club. “Each social setting has things about it that you don’t like.”

Safety, Security in Aviation

0

Who in Indonesia was not offended when on July 4 the European Commission blacklisted Indonesian airlines, barring their planes from flying to Europe? The basic reason, they argued, was safety issues. Although debatable, this fact is really too painful to accept. Indeed, no Indonesian airlines presently fly to Europe. National flag-carrier Garuda stopped flying to Holland after the economic crisis, but had recently announced plans to resume scheduled flights to this destination. But now it is prohibited from doing so.

Even without this ban, a friend jokingly said that Indonesian aircraft would never arrive on the continent of Europe as scheduled anyway. Take, for example, the case of Boeing 737-300, which was scheduled to fly to Hasanuddin Airport, Makassar, but arrived instead at Tambolaka Airport, East Nusa Tenggara. Greater attention, however, was paid to the air disaster befalling Adam Air’s Boeing 737-400 on Jan. 1, 2007.

Many people were surprised to learn of this air disaster. Adam Air is a low cost carrier (LCC) and was presented the Award of Merit in 2006 in the category of low cost airlines at the third annual Asia Pacific and Middle East Aviation Outlook Summit in Singapore. The question is whether low cost carriers like Adam Air neglect safety regulations in a bid to cut costs.

The LCC concept was first introduced by Southwest Airlines in the United States in 1971. This concept was then adopted by Ryanair, an Irish airline, in 1985. In time, this concept spread to Asia. AirAsia adopted it in late 2001. This Malaysian airline entered Indonesia on April 10, 2004 with attention-grabbing advertisements about low-cost air tickets.

The term LCC itself came from the aviation industry in reference to a low or very low operating cost structure in comparison to traditionally managed airline companies. Operating costs are reduced by applying a point-to-point flight system, reducing labor costs and not offering any regular services (food and drinks) to passengers during flights.

A point-to-point flight system is aimed at increasing the utilization of an aircraft, so that its turn around is faster and costs incurred for airport facilities are less. Meanwhile, labor costs are also reduced. Take, for example, two leading LCC airlines in the United States, Southwest and JetBlue. They pay their employees 30 to 40 percent less than regular airlines (Wall Street Journal, October 2002).

Another cost-saving measure is not to serve food or beverages during flights. This measure cuts costs by US$5 to $10 per passenger. Not serving food or refreshments means a 3.2 percent reduction in total costs (Air Transport Association, 2001).

But is it true that the LCC concept could be the cause of various air accidents? In other words, is it true that a low cost carrier ignores the safety of its passengers?

Following the Adam Air tragedy early this year, there is a strong public perception that a low-cost flight could mean a loss of life. However, if the LCC concept is properly understood, this opinion is unfounded. As Widijastoro Nugroho, the marketing and distribution director of AirAsia, puts it, “Safety and security are the two main things that must never be tinkered with.”

That’s why, Widijastoro, said, AirAsia and other airlines adopting the LCC concept, such as Southwest and JetBlue, have a zero accident rate.

Full Service Carrier, a Great Way to Fly

0

The popularity of aviation under the low-cost carrier (LCC) concept does not necessarily mean a damaged full-service carrier (FSC) market. Even Adam Air, which came under the spotlight following the mid-air disappearance of one of its airplanes on Jan. 1, has expressed its intention to enter the FSC market.

This step, said executive chairman of PT Bhakti Investama Tbk., Hary Tanoesoedibjo, the new boss of this airline, is intended to increase its income and at the same time help it face the liberalization of the aviation industry in ASEAN, since the Indonesian government agreed to implement an open sky policy in ASEAN territory as of 2008 (for passengers) and in 2010 (for cargo).

Hary said that there were two types of air passengers in Indonesia, namely passengers who choose cheap and safe flights, and passengers who want not only safety but also comfort. “There were as many as 36 million air passengers last year. This is a very big market,” he stressed.

Hary expressed optimism that the merger of Adam Air with the Bhakti Group, whose core business is media, among others RCTI, TPI and Global TV, will strengthen the competitiveness of this airline in the domestic and international aviation arenas.

Adam Air began operations in December 2003 and currently operates 26 Boeing 737 airplanes. It serves 21 domestic and international destinations, including Singapore and Penang. In the next five years, Hary noted, Adam Air aims to operate at least 60 airplanes and increase its flight routes and frequency at home and abroad.

Although the aviation trend worldwide is going in the direction of LCC, full service carriers have their own market. That’s why, although once successful with Citilink, Garuda Indonesia has never abandoned the FSC segment. Garuda felt it would be impossible to merge low cost carrier Citilink with Garuda. “Take managing a restaurant, for example. Of course, managing a five-star steak house is different from running a Padang food stall,” said Emirsyah Satar, president director of Garuda, to The Jakarta Post recently.

Of course, you cannot simply sit back when you wish to increase the number of customers in the FSC segment. For years Garuda has built up a reputation of offering a unique experience and in this way it has created passenger loyalty. With a positioning that is different from most other airlines, Garuda can offer value-added services to its loyal customers, particularly members of Garuda Frequent Flyers (GFF).

GFF members, now numbering about 15 percent of total Garuda passengers, enjoy a lot of benefits, such as access to the executive lounge at Jakarta’s Soekarno-Hatta Airport. The lounge offers comfort and various services, ranging from a bathroom with showers, the pressing of clothes, a cafeteria, a bar and Internet access all free of charge.

Garuda has had this airport lounge for many years but is now giving GFF members special attention. GFF membership is now categorized in four levels from the lowest to the highest, namely blue, silver, gold and platinum.

Various facilities are offered to GFF members of every level. For a blue level member, for example, the mileage is recorded while the membership card can be used as a discount card at a number of merchants. A platinum cardholder, meanwhile, enjoys a free baggage allowance of up to 20 kilos, can use the executive lounge and is involved in GFF activities, such as Garuda-sponsored classical music concerts.

Peran Ganda Para Model

0

Model bukanlah profesi yang tabu, bahkan boleh jadi impian para wanita saat ini. Populer, wajahnya terpampang di mana-mana, dan secara finansial sangat berkecukupan. Hanya saja, jalan untuk menjadi model profesional tidak selalu mulus dan membutuhkan perjuangan yang panjang. Lalu, muncullah jalan pintas, mereka tidak hanya menjual jasa modelling, tapi juga menawarkan kecantikan dan tubuhnya secara harafiah. Aha, peran ganda model? Honornya sangat menggiurkan lho, apalagi kalau sudah punya nama. (Burhan Abe)

Dicari: Model Wanita Indonesia! Kami tidak ingin membuang waktu Anda ataupun kami. Kami mencari calon model yang berdikasi penuh untuk menjadi seorang model dan siap tampil international. Kami bukan mengumpulkan model untuk membuat models showcase, melainkan khusus menangani model yang siap tampil dengan sungguh-sungguh. Kami telah melakukan seleksi ketat, menghubungi beberapa modeling managements, men-seleksi beberapa model independen, namun belum menemukan model yang sepenuhnya masuk dalam kriteria kami.

Begitulah iklan yang terpampang di situs models web Indonesia. Iklan itu selanjutnya menentukan kriteria model yang dicari: Freelance, usia 22-30 tahun, wajah khas wanita Indonesia, kulit bersih sawo muda (bukan putih), rambut panjang sedikit melampaui bahu, warna/raut muka dan bibir sensual, kaki sempurna untuk menggunakan miniskirt dan high heel shoes, tinggi 155 – 170 cm berat badan proporsional. Berdedikasi penuh sebagai profesional model, bisa bekerja sama untuk menghasilkan foto-foto terbaik.

Tidak pelak lagi, kegiatan fashion yang terus menggeliat dan dunia entertainmen yang berkembang subur tak pelak membuat kebutuhan akan model semakin besar. Pencarian model bisa dilakukan melalui talent scouting, pencarian bakat lewat berbagai pemilihan, kontes putri remaja, lomba gadis sampul, bahkan pencarian via televisi dalam acara reality show.

Model pun kini menjadi profesi impian banyak anak muda karena bisa menjadi batu pijakan untuk melompat ke dunia sinetron, film, model iklan, videoklip, sampai masuk dapur rekaman menjadi penyanyi. Siapa yang tidak tergiur, karena “hanya”dengan berani tampil di depan kamera, honor pun bisa didapat dengan gampang. Bahkan kalau jam terbang semakin tinggi, dunia modelling bisa dijadikan tumpuan untuk melangkah ke jenjang berikutnya dunia selebriti. Popularitas dan kemewahan, itulah dua hal yang melekat pada profesi wangi ini.

Siapa yang tidak kenal supermodel dunia, sebutlah Naomi Campbel, yang dengan profesinya menjadi multi jutawan. Atau di Indonesia kita mengenal beberapa nama yang mukanya sering muncul di media cetak dan layar kaca; Arzeti Bilbina, Indah Kalalo, Caroline Zachri, Chaterine Wilson, Aline, Naila, Luna Maya, Dominique, dan lain-lain.

Kita juga mengenal Tracy Trinita yang go international. Peraih juara I versi Elite Model Management yang berbasis di New York pada tahun 1995 itu telah merasakan berbagai pengalaman menyenangkan sebagai model dunia. Dia pernah dikontrak sebagai model sebuah produk milik Iman, istri penyanyi terkenal David Bowie, penyanyi terkenal asal Inggris. Dia juga mendapat kesempatan bekerja di brand top dunia, United Color of Benetton. Fotonya terpampang di mana-mana.

”Ketika melihat poster saya yang segede jendela di Amerika, Eropa, Singapura, di seluruh dunia, saya sempat kaget. Ternyata, saya bisa diterima di modeling internasional,” ujar gadis berdarah Bali-Hongaria kelahiran Surabaya pada 29 Setember 1980 ini suatu ketika.

Model Plus

Namun impian memang kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Simaklah kisah Dina (bukan nama sebenarnya). Gadis asal Sukabumi ini sudah memimpikan untuk menjadi model, atau artis di Ibu Kota. Sejak kecil ia sudah dunia tersebut lewat televisi di rumahnya, melalui tayangan sinetron, iklan, atau pun infotainmen yang membicarakan dunia selebiriti yang lagi marak-maraknya. Adegan demi adegan dalam tayangan sinetron Tersanjung, hampir tidak pernah ia lewatkan. Ini adalah salah satu sinetron yang ia gemari, ceritanya menarik, dan bintang-bintang yang memerankannya keren-keren. Pemeran utama prianya ganteng, dan pemeran utama wanitanya, sudah pasti cantik. “Saya ingin menjadi bagian dari mereka,” Dina bergumam pelan.

Niat itulah yang menuntun Dina bertekat untuk pergi ke Jakarta selepas SMU di kota kelahirannya. Segala informasi ia endus, hingga terdampalah ia ke sebuah agensi model. “Siapa tahu, ini hanya salah satu jalan untuk menuju cita-cita saya menjadi artis,”ungkapnya. Cantik, bertubuh sensual, dan berani tampil, itulah modal Dina. Itu sebabnya, bukan dalam hitungan lama ia pun mulai diburu tabloid dan majalah yang ingin memajang wajahnya yang kata orang mirip Dina Lorenza dan tubuhnya yang indah.