Home Blog Page 89

SMS Lebaran

0

Let’s write all the mistakes down in the sands
And let the wind of forgiveness erase them all away

ITULAH pesan pendek yang masuk ke ponsel saya 01 Syawal 1429 H, yang bertepatan dengan 01 Oktober 2008. Surprise, bukan karena kata-katanya yang indah, tapi bahasa Inggrisnya sempurna. Saya tahu pasti, teman saya yang mengirim SMS tersebut bukanlah seorang penyair, bahasa Inggrisnya pun sangat pas-pasan.

Begitulah, pada hari yang fitri tersebut, banyak orang mendadak mendadak menjadi penyair, minimal pandai menciptakan kata-kata yang puitis untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir dan batin. Saya sih tidak peduli, apakah itu ciptaan sendiri ataukah sekadar mem-forward dari SMS orang lain. Yang jelas, sangat menyenangkan bisa “beranjangsana” dan bisa terkoneksi dengan sanak, saudara, teman dan kolega via mobile technology.

Memang tidak semua SMS berpusi-puisi ria, ada yang straight to the point, tapi tidak sedikit yang lucu. Ini dia contohnya:

Ikan teri kesamber gledek
Idul Fitri is coming back
Ada anak piara kate
Maafin kite ye
Buah jambu sayur lodeh
Kalo ga mau, eh capek deh!

Tapi yang memberikan kesan adalah kiriman dari Bapak Erry, salah seorang mantan petinggi di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang memberikan energi positif dalam upaya pemberantasan korupsi. Coba saja simak:

Minal aidin wal faizin
Mohon maaf lahir dan batin
Semoga ibadah kita senantiasa mendapatkan barokah Allah SWT
Meningkatkan kualitas iman
Kemampuan makna kita mewujudkan makna hidup kepada sesama dan kepada-Nya
Serta ketulusan dan keteguhan kita memberantas ragam kezalimam, kesewenang-wenangan, kecurangan dan kejahatan terorganisasi, termasuk korupsi
Amien ya Rabbal Alamin

Takzim
Erry Riyana Hardjapamekas & keluarga

**

Many thanks to all relatives send me SMS. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Ade Irwan Trisnadi (Appetite Journey), Agung Yuswanto, Alda Siregar, Amazon Dalimunthe, Ambar (Kid Enterprise), Anastasia (Le Grandeur), Andi Mallarangeng (Jubir SBY), Andreas Setiadi (Wok Magazine), Andrianus Pao (Metro TV), Arief Soeharto (Suara Pembaruan), Arif Tritura (Total), Aris Kelana (Gatra), Azza, (Kid Enterprise), B Gunawan, Bimo, Bintoro (US Aid), Boy Maula (Wahana Trinity Media), Chairul, Catur (SWA), Chandra Kirana, Chandra Muaz, Chilmi (Bungah), Chika, Dadi R Sumaatmaja (Metro TV), Daniel, Devy, Didiek WS, Dharmesti Sindunatha (Provis), Dodi Priaji CB, Dody Rochadi (BHP Biliton), Domery (Metro TV), Darandono (SWA), Donny (Appetite Journey), Dijan Subromo (US Aid), Dyta (titik), Diyanto (Tupperware), Echy (Indosat), Eddy (Sheraton Bandung), Edoy Sunarto (Appetite Journey), Eddy P. Kasdino, Eka Listiana, Elprisdat (EE Communications), Edhi Sumadi (Pernod Richard), Elly Simanjuntak (Charoen Pokphand), Elizabeth Fang (ME Asia), Endi Aras, Erry Riyana Hardjapamekas, Ety Suryani (Appetite Journey), Evieta (U Magazine), Evi Puspa (Online Marketing Indonesia), Farid MS, Faisyal Chaniago, Ferhad Salim Badjeber, Firda (Human Capital), Fithri (The Jakarta Post), Hartono (Kalbe Group), Hartono IP (PKS), Hersubeno Arief, Franz Wolfgang (Nokia), Hardiman, Hario Santoso, Harsya Soebandrio, Hayib (Gresik), Heru (Daihatsu), Herry Barus (View), Honorus Hendriyarno (Pertamina, Bontang), Icha (T&T Magazine), Ika Sastrosoebroto (Prominent), Indra Bustomi, Intan Pulungan (Int Com Media), Irfan Husen, Iskandar Tumbuan (Bank Mandiri), Jenny (Cognito), Johannes Simbolon (The Jakarta Post), Joko (EE Communication), Jon Minofri, Ita Sembiring, Iwan (BCA), Iwan Suci Jatmiko (Vox Populi), Kemal E. Gani (SWA), Ketut Sumarta (Dewata TV), Kevin, Kili (Globe Asia), Kusnan Djawahir (SWA), Latif (eks Matra), Laurensius Zaoputra (Zao Creation), Lena Thong (Marquee), Lily Nababan, Limbuk Yuli, Lira Dachlan (The Dharmawangsa Hotel), Marah Sakti Siregar (Cek & Ricek), Marthen Selamet (Koran Jakarta), Marcella (Kraftig), Mardi Luhung, Maruli Girsang, M. Ali Ridho, Nazir Amin, Nindito HK, Noor Yanto (Majalah Marketing), Novia (Tadonfo), (Novianto, Nobelson Santo, Nugroho, Okta (Chevron Indonesia), Olga Lydia, Ollie Rachmat, Prih Sarnianto, Rahmat Yunanto (Metro TV), Ratih Poeradisastra, Reeza Budhisurya (Opco), Renjana (Manajemen “Laskar Pelangi”), Ridho (Single Executive Club)), Rhino, Rian Sudiarto (Majalah Pengusaha), Riant Nugroho, Robert (DHL), Ristiyono (Appetite Journey), Salma, Samsi Darmawan (Plaza Senayan), Santi (AS), Shinta (Discovery Kartika Plaza, Bali), Soleh Hidayat (Indomobil), Sonia Wibisono, Siska Leonita (XL), Suzy Sayers (Studio 3), Stanley Ng (Sequis Life), Swastika Nohara, Syamhudi (Majalah Profesi), Tatik Hafidz, Tjandra Wibowo (Samuan), Thomas Ng, Tri (Appetite Journey), Tipuk Satiotomo (Prominent), Troy Reza Warokka (Mahaka Media), Tutut (SWA), Untung (InMark), Valentino, Ventura Elisawati, Vita (Femina), Vitry (Warta Ekonomi), Wawan (Mix), Yahdi Jamhur (Samuan), Yanti (Ritz-Carlton, Pacific Place), Yayuk (Julambi), Yohanes S. Widada (Media Indonesia), Yul Adriansyah, Yuli, Yusuf Susilo Hartono.

(01 Oktober 208)

Halalan Thayyiban

0

Sebuah rumah makan ayam bakar terkenal mencantumkan kata “halalan thayyiban”. Apaan sih itu? Begitu tanya seorang teman. Memang, label tersebut agak berlebihan, yang artinya kurang lebih sama dengan “dijamin halal”. Bahkan untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim mestinya tidak perlu mencantumkan label itu lagi, justru yang sebaliknya yang harus disebut, misalnya “mengandung babi”.

Sekadar pengetahuan, kata halal, berasal dari bahasa Arab, berarti boleh. Jadi, makanan halal ialah makanan yang diperbolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syariat Islam. Segala sesuatu, baik tumbuh-tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada dalil Quran atau Hadits yang mengharamkannya.

Daging babi adalah makanan yang jelas-jelas disebut haram dalam Quran. Yang juga tidak boleh dimakan dalam Islam adalah darah, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali sempat disembelih.

Sementara thayyiban atau thayyib berarti lezat, sehat, atau paling utama. Dalam konteks makanan berarti makanan yang tidak kotor atau rusak (kadaluarsa), atau bercampur makanan haram. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman. So, makanan yang masuk kategori ”halalan thayyiban” dalam cerita di atas, silakan menyimpulkannya sendiri.

Sebelum artikel ini menjadi dakwah agama, saya hanya ingin mengatakan bahwa untuk komunitas tertentu (baca: muslim), rambu-rambu halal dan haram sangatlah penting dalam berburu makanan. Sama dengan penganut agama lain yang tidak diperbolehkan makan daging hewan alias vegetarian. Meski dalam perkembangan berikutnya gaya hidup vegetarian tidak selalu dikaitkan dengan agama tertentu, tapi pendekatannya lebih kepada kesehatan.

Sama dengan tren belakangan ini, makanan halal kini bukan lagi dominansi umat Islam tapi kalangan non muslim juga ternyata lebih cenderung memilih makanan berlabel halal. Setidaknya yang terjadi di Malawi, sebuah negara kecil di selatan Afrika berpenduduk 12 juta jiwa. Warga non muslim di wilayah itu lebih percaya dengan produk-produk makanan, khususnya daging potong, yang sudah mendapatkan sertifikasi halal dari badan nasional makanan halal di negeri itu.

“Lebih aman makan produk-produk daging bersertifikat halal. Setidaknya Anda yakin bahwa mereka tidak asal comot hewan ternak yang sakit untuk dipotong,” begitu salah satu alasan seorang warga Malawi penganut Protestan.

Kalau ditarik ke pergaulan sekuler, halal-haram kini tidak lagi menjadi persoalan agama semata. Saya ingat beberapa tahun yang lalu ketika diundang komisi pariwisata Australia, saya sempat menikmati “halal food” di sebuah restoran di Brisbane. Yang punya adalah pengusaha asal Malaysia beretnis Cina beragama Nasrani. “Saat ini banyak orang Indonesia dan Malaysia, khususnya yang beragama Islam, berkunjung ke Australia, tapi susah menemukan restoran yang menyajikan menu halal. Kami menangkap peluang tersebut,” ujar pengelola yang sekaligus pemilik restoran itu.

Target pasar, itulah kata kuncinya. Warung bakmi atau kwetiau di Kota, daerah pecinan Jakarta, ketika hendak meluaskan segmennya ke pasar yang lebih luas (baca: pasar muslim), harus rela tidak menggunakan daging babi dalam produknya, tapi menggantinya dengan ayam atau sapi.

Pak Made Ngurah Bagiana, yang beragama Hindu pun, perlu mencantumkan setifikat halal untuk usaha burger kaki limanya (“Edam Burger”) yang mencapai 3.000 gerai di seluruh Indonesia. “Supaya produk saya bisa diterima siapa saja, lebih-lebih oleh mayoritas penduduk Indonesia yang muslim,” katanya. (Burhan Abe)

Telekomunikasi untuk Semua

0

Halimin, warga Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Selawesi Selatan, terkejut mendengar dering telepon genggamnya dari balik lemari. Sejak kepala seksi pemerintahan desa itu membeli ponsel tahun 2007, baru awal Agusus lalu bisa berdering di dalam rumah. 

Itulah ilustrasi yang diceritakan Kompas, 25 Agustus 2008. Akses komunikasi memang selalu menjadi masalah bagi 743 warga Rinding Allo, yang berjarak 64 kilometer dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara, Masamba. Jalan nasional yang menghubungkan Rinding Allo dengan Masamba rusak parah sehingga jalan itu hanya bisa dilalui mobil bergardan ganda. Waktu tempuh pun lima jam, cukup membuat penat siapa pun yang menempuh perjalanan itu.

Yang lebih parah, tidak ada sarana komunikasi di desa itu. Pada tahun 2007, pemerintah memang memasang radio SSB, tapi radio itu sering tidak tembus dengan radio SSB lainnya. Tidak ada koran yang masuk karena jalan buruk. Itu sebabnya ketika jaringan Telkomsel masuk Agustus lalu, jelas merupakan berita gembira. Ini terkait dengan program pemerintah dalam rangka membuka akses telekomunikasi di daerah tertinggal dan pulau terdepan.

Rinding Allo hanya salah satu. Di tengah derasnya arus informasi di jagat ini, puluhan ribu desa di Indonesia tidak memiliki akses komunikasi dengan dunia luar. Buruknya sarana jalan membuat perekonomian masyarakat jalan di tempat. Sejak tahun lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh melontarkan wacana pembangunan saluran sambungan telepon di 38.000 desa di seluruh Indonesia. 

Proyek ini sempat terkatung-katung. Beruntung persaingan bisnis telepon seluler makin ramai. Selain perang tarif yang menguntungkan konsumen, operator seluler mulai menggarap cerukan pasar yang belum terlayani, termasuk bagian dari daftar panjang 38.000 desa program USO (Universal Service Obligation) — program pungutan pemerintah senilai 0,75 persen pendapatan kotor setiap perusahaan jasa telekomunikasi yang menggunakan frekuensi sebagai media jasa mereka.

Apakah ini pertanda bahwa kelak ponsel memang untuk semua orang di Indonesia, tentu butuh waktu. Yang jelas, operator-operator kini mulai menggarap pasar kota-kota kecil serta perdesaan. Bukan karena adanya program pemerintah, tapi dengan pasar perkotaan yang padat dan persaingannya sangat ketat, investasi untuk membangun BTS di wilayah pinggiran dan menggarap pasar masyarakat perdesaan tentu bukan pilihan yang salah. 

Sementara dari sisi gadget ponsel, para produsen kini juga mulai melirik pasar yang lebh massal ini. Ponsel untuk kelas atas dan sebagai produk untuk memenuhi gaya hidup modern memang sudah ada target pasarnya, tapi ponsel sebagai perangkat fungsional jutsru mempunyai peluang yang lebih besar.

Itu sebabnya, sebagian produsen ponsel dunia sekarang berinovasi melahirkan ponsel-ponsel murah, bahkan dengan harga jual sekitar Rp 300.000 cukup untuk digunakan sebagai perangkat komunikasi, baik suara maupun pesan singkat SMS.

Fenomena yang kita tangkap sekarang adalah sebuah ponsel dengan harga Rp 1 – 1,5 juta juga sudah memiliki berbagai kemajuan dan fitur teknologi mutakhir, seperti ponsel-ponsel buatan China yang lengkap, bukan lagi hanya sebagai perangkat teleponi, melainkan gabungan sebuah kesatuan fitur lengkap, baik personal digital assistant (PDA), kamera digital, teve dengan penerima analog, maupun fitur lain yang jauh lebih lengkap dibandingkan yang ditawarkan ponsel dibuat merek-merek dunia, seperti Nokia, Sony Ericsson, Motorola.

Untuk produk murah Cina memang jagoannya. Mereka meluncurkan beberapa merk ponsel sekaligus, sebut saja ZTE, D-One, atau K-Touch. Khusus untuk yang terakhir di Cina memiliki nama asli Tianyu. Ada juga yang barangnya masuk Indonesia memakai brand Indonesia (Hi-Tech). Selain desain yang umumnya menarik, hal lainnya yang sangat menonjol dari ponsel-ponsel ini ialah harganya yang sangat murah.

80s Never Die

0

Bukan, kita2 bukan kumpulan manula usia 80-an. Belum setua itulah, cing. Walopun emang masa jaya kita2, saat2 bisa nglakuin apa aja nggak pake mikir panjang, udah lewat…

Blog ini didedikasikan untuk mengenang taon2 yang indah itu. Dekade 80-an! Biar aja orang pada bilang norak, jadul, najong, memble… yang penting kita2 tetep merasa kece dan juga hepi bisa bernostalgia. Oke, coy!

ITULAH pengantar blog lapanpuluhan.blogspot.com, salah satu blog yang mewadahi komunitas angkatan 1980-an. Anggota milisnya sampai saat ini, menurut Mohammad Baihaqi (35 tahun), yang membangun situs pertemanan itu sejak 2005, sudah 1.800 orang dari seluruh dunia.

Berawal dari kecintaannya terhadap masa 1980-an, pria 35 tahun ini membangun komunitas tersebut. Blog dan milis ([email protected]) menjadi ajang interaksi mereka mengenang berbagai penanda zaman 1980-an yang sempat mereka alami dulu.

Mulai dari diskusi tentang musik, film, acara TV, gosip selebriti, makanan, mainan, hingga membahas tingkah para pejabat tinggi era itu. “Era 1980-an adalah masa saat hampir semuanya seragam karena belum banyak pilihan. TV cuma ada satu, film, musik, komik, sampai jenis permainan di sekolah, semua sama. Jadi, kami bisa sharing,” kata Baihaqi kepada Kompas.

Ia menyebut acara TV di era itu adalah Si Unyil, Rumah Masa Depan, Losmen, dan acara musik Aneka Ria Safari atau Selekta Pop. Ada juga serial The Legend of Condor Heroes, tapi kalau nonton di video masih berformat Beta. Acara lain di TVRI yang juga menjadi andalan adalah film Warkop, dan penampilan Rhoma Irama.

Angkatan 1980-an juga pasti kenal lagu Di Dadaku Ada Kamu ciptaan Dodo Zakaria yang dinyanyikan dengan centil oleh Vina Panduwinata (yang sampai sekarang masih eksis dan konsernya beberapa waktu yang lalu tergolog sukses dengan audiens terbanyak tentu komunitas 1980-an). Atau Tak Ingin Sendiri dari Dian Piesesha serta Hati yang Luka yang dipopulerkan Betharia Sonata.

Sementara untuk kelas internasional, komunitas 1980-an juga akrab dengan penyanyi Michael Jackson yang dijuluki King of Pop. Selain itu ada Madonna, Bananarama, Michael Jackson, MC Hammer, Whitesnake, Blondie, Lionel Richie, Diana Ross, Bon Jovi, Wham!, Pink Floyd, Milli Vanilli, Paula Abdul, A-Ha, dan seterusnya.

Untuk kategori film ada The A-Team, Top Gun yang melejitkan nama Tom Cruise, dan Saturday Night Fever (walaupun rilis tahun 70-an) yang melambungkan nama John Travolta. Yang tidak kalah populernya saat itu adalah The Breakfast Club, St. Elmo’s Fire, Sixteen Candles, Dirty Dancing, Indiana Jones and Raiders of The Lost Ark, Risky Business, American Gigolo, When Harry met Sally, Friday the 13th, Nightmare on Elm Street, E.T., Rain Man, dan lain-lain.

Ya, setiap generasi punya zamannya sendiri. Bagi generasi 1980-an, waktu yang terentang antara tahun 1980 hingga 1989 adalah masa-masa yang tak terlupakan. “Itu adalah masa-masa indah yang memberi kesan mendalam dalam hidup saya,” ujar Rian Sudiarto (46), pemimpin perusahaan sebuah penerbitan.

What’s hot in the 80’s?

Masa itu, menurut alumni Fisipol, Universitas Gajah Mada Yogyarkarta itu, adalah masa transisi dari era lama ke era modern. Permainan kasti dan gobak sodor masih ada, tetapi sudah mulai muncul game watch dan video game.

Cireng di sekolah masih populer, tapi mulai kenal ayam goreng Kentucky dan American Hamburger. Era ini juga ditandai dengan munculnya diskotek-diskotek di Jakarta, sebutlah Ebony, Musro, Stardust, Earthquake, atau Fire. “Tren itu kemudian diikuti daerah-daerah. Kalau tidak ke disko diangal tidak gaul,” ujarnya.

Malaysia Makin Seronok

0

Malaysia kini sedang gencar-gencarnya menggenjot industri pariwisatanya. Keindahan alam dan kebudayaannya dikemas menjadi paket-paket tur yang menarik. Negeri jiran itu boleh saja tidak memiliki Candi Borobudur, tapi dengan Menara Petronasnya di Kuala Lumpur, sebagai bangunan menara tertinggi di dunia (452 meter), kini juga menjadi salah satu “keajaiban dunia” cukup ampuh untuk menyedot para wisatawan yang datang dari berbagai pelosok Bumi.

Selain pembangunan kawasan-kawasan modern yang potensial menjadi tujuan wisata baru, sebutlah Genting yang dikenal sebagai pusat judi dan hiburan di Asia Tenggara. Pemerintahan Malaysia juga rajin membuat event-event yang diperkirakan bisa menarik wisatawan mancanegara. Sebutlah Malaysia Mega Sale Carnival, Festival Pentas dan Konser Musik Arab KL Samrah, Kompetisi Kembang Api Internasional Malaysia, Bulan Perayaan Hari Kemerdekaan Malaysia, Rainforest World Music Festival di Sarawak, dan lain-lain, yang diselenggarakan tahun ini.

Itulah gebrakan-gebrakan untuk menarik 22 juta wisatawan yang menjadi target Malaysia pada 2008. Angka tersebut, menurut Director International Promotion Division Tourism Malaysia, Azizan Noordin, bisa dicapai karena hingga Juni lalu saja tercatat 10.96 juta turis datang ke Malaysia.

Atau naik 2,65% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara tahun lalu bertepatan dengan gaung Visit Malaysia Year 2007, angka 20 juta bisa dilewati dengan mulus.

Yang menarik, di hampir setiap gerak kepariwisataan Pemerintah Malaysia selalu menyertakan wartawan dari berbagai penjuru dunia, cara yang tergolong ampuh untuk mewartakan kegiatan tersebut ke seluruh pelosok dunia. Appetite Journey terlibat dalam salah satu kegiatan yang disebut sebagai Mega Familiarisation (Fam) Programme dengan acara utama Festival Flora Malaysia 2008, yang tahun ini dipusatkan di Johor Bahru, 26 Juli lalu. 

Johor Bahru, yang berdiri tahun 1855, terletak di selatan Semenanjung Malaysia. JB, demikian sering disingkat, merupakan salah satu pusat perindustrian, perdagangan, dan pariwisata terbesar di Malaysia. Pariwisata adalah penyumbang utama dalam perekonomian wilayah ini di mana 60% dari para wisatawan yang mengunjungi Malaysia setiap tahun masuk ke negara tersebut dari Singapura yang terhubung dengan JB lewat jalan darat yang bisa dicapai tak lebih dari satu jam. 

Festival Flora di JB merupakan parade tahunan, dalam rangka merayakan warisan kekayaan bunga yang di rangkai dalam sebuah pertunjukan yang menakjubkan, juga menampilkan kreativitas dari masing-masing pesertanya. Meski tidak sekolosal Parade Bunga di Pasadena, AS, inspirasi Festival Flora Malaysia memang dari event tahunan setiap tanggal 1 Januari tersebut. 

Yang jelas, keseriusan Pemerintah Malaysia menyelenggarakan karnaval bunga yang meriah patut diacungi jempol. Acara yang digarap secara profesional ini tidak hanya menjadi rekreasi tersendiri bagi penduduk setempat yang totalnya tak lebih dari 2 juta jiwa, tapi juga para turis asing. Sebanyak 158 partisipan yang terdiri atas wartawan, fotografer dan agen perjalanan dari 16 negara diundang secara khusus dalam acara ini.

Photo by Aril Ismail on Unsplash

Dalam acara yang berlangsung di Dataran Bandaraya ini, dibuka Raja Malaysia Yang Di-Pertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin didampingi Perdana Menteri Ahmad Badawi. Parade diikuti 17 mobil hias penuh warna, 15 di antaranya berasal dari negara bagian Malaysia, dan dua lainnya peserta internasional dari Cina dan Makau. Temanya adalah “Colours of Harmony”, merupakan simbol bangsa Malaysia yang multi ras hidup dalam damai dan harmonis. 

Parade diawali dengan tari-tarian yang dinamis. Para penari, pria dan wanita, bergerak lincah mengikuti alunan musik. Ada irama Melayu dengan ketukannya yang khas, juga irama Latin dengan perkusinya yang rancak. Dengan kostum bertema flora, lengkap rumbai-rumbai penghias kepala para penari, serta musik yang meriah tentu saja, mengingatkan pada pawai mardi grass di Rio de Janeiro.

Kekayaan Kuliner

0

Ketika berkunjung ke Malaysia atas undangan Malaysia Tourism Board beberapa waktu yang lalu saya tidak melewatkan untuk berwisata kuliner. Nasi lemak, roti canai, laksa, itulah beberapa nama makanan yang populer.

Di pusat perbelanjaan Suria KLCC (Kuala Lumpur City Center), letaknya di kaki menara kembar Petronas, saya mendapati banyak gerai makan, tak beda dengan foood court yang ada di mal-mal di Indonesia. Sementara di kawasan Chow Kit makanannya lebih ”aman”, terdapat sejumlah restoran Padang dan makanan ala Indonesia. Sebagian penduduk KL menyebut daerah ini sebagai kampung Indonesia.

Seekstrem apa pun, makanan Malaysia agaknya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, terutama dari gagrak masakan Melayu yang sama-sama nasi sebagai makanan pokoknya.

Makanan Melayu memang sangat dominan, tapi dengan keranekagaman etnis dan ras, negeri ini memiliki beragam resep masakan yang khas. Secara garis besar masakan Malaysia terdiri atas tiga jenis: masakan Melayu, Cina dan India. Masing-masing punya ciri khas dan rasa istimewa. Selain itu, juga ada masakan pembauran budaya dari masyarakat Nyonya (keturunan) dan India Islam. Sedang menu-menu internasional, macam masakan Eropa dan Mediterania tersedia di restoran-restoran modern. Betapa beragamnya kuliner di Malaysia!

Tapi kalau dipikir-pikir kuliner Indonesia tidak kalah kayanya dengan negeri jiran tersebut, bahkan amat jauh lebih kaya. Bayangkan, ada ribuan pulau, etnis yang mencapai 1.340 suku menurut sensus Badan Pusat Statistik terbaru, serta ribuan gagrak makanan pula tentunya.

Memang, kita hanya mengenal beberapa saja yang populer, karena tidak semua jenis makanan Nusantara sudah terekspos dengan baik. Kalau Anda rajin mengikuti Festival Jajanan Bango, misalnya, tentu akan terperanjat, betapa beragamnya makanan ”pinggiran” yang sudah menjadi menu sehari-hari orang Indonesia.

Untuk mencari yang lebih otentik memang kita harus rajin bertandang ke daerah-daerah langsung. Apalagi, menurut pakar kuliner William Wongso, banyak makanan Indonesia yang tidak bisa dikemas praktis sebagai makanan orang kota.

Itu sebabnya kita harus acungi jempol ketika The Ritz-Carlton Jakarta menggelar festival makanan Indonesia = Samarinda + Bangka, bertepatan dengan hari jadi ke 63 RI, Agustus lalu.

Kalau makanan Jawa, Madura, Sunda, apalagi Padang yang restorannya ada berbagai tikungan jalan, pasti kita sudah mafhum. Tapi kalau Samarinda atau Bangka? Saya yakin hanya sebagian saja yang tahu, minimal pernah mendengar dan melihatnya, apalagi pernah merasakannya.

Beberapa makanan Samarinda memang mengingatkan gagrak makanan lain di Nusantara, tapi percayalah, tetap saja ada yang khas. Sebutlah nasi bakepor, patin bakar, udang goreng karang melenu, satai payau, pindang kepala patin, oseng genjer, atau soto acil aiunun – yang penciptanya memang bernama Acil Ainun, seorang ibu yang jago masak, khususnya masakan Samarinda.

Berlaga tanpa Sejata

0

Berjuang tidak harus memanggul senjata. Apalagi, masa perang memang telah usai, meski ”perang dingin” dalam arti yang lebih luas, selalu menghantui kehidupan berkebangsaan kita. Bersamaan dengan peringatan Kemerdekaan RI, berikut cerita dari medan perang.

Cerita seputar wartawan, apalagi wartawan perang, memang menarik. Sudah banyak film yang mengangkat kehidupan mereka, di antaranya The Hunting Party, film produksi The Weinstein Company yang dibuat tahun 2007.

Film dengan bintang utama Richard Gere ini berkisah seputar dunia wartawan, yang berlatar negara Bosnia Herzegovina. Dengan sudut pandang yang unik, horor dan humor bercampur menjadi satu, ini memang merupakan film satir politik internasional. Tidak hanya dunia jurnalistik, film ini justru yang lebih banyak sindiran keras kepada lembaga-lembaga internasional seperti PBB, NATO dan CIA karena kegagalan mereka menangkap penjahat perang yang paling bertanggung jawab atas pembersihan etnis Muslim Bosnia.

Bertugas sebagai pewarta di tengah desingan peluru pertaruhannya adalah nyawa. Itu tidak hanya dialami Richard Gere dalam film tersebut, tapi cerita nyata juga dijalani Rien Kuntari, wartawan yang sering mendapat tugas untuk terjun ke negara-negara yang sedang bergolak, mulai dari Irak, Afganistan, Rwanda, Kamboja, hingga Timor-Timur.

Wartawan perang, itulah julukan yang sempat bahkan sampai kini melekat pada Rien, padahal perempuan Jawa itu mengaku benci dengan kekerasan termasuk peperangan. ”Inilah profesionalisme yang harus saya jalani,” ujarnya.

Mendapatkan berita yang eksklusif, apalagi dalam area konflik, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam memburu berita tidak jarang wartawan harus mempertaruhkan segalanya; nurani, kehormatan, hujatan, cercaan, kemungkinan gugatan, ancaman, bahkan nyawanya sendiri. Tapi semua dikalahkan demi idealisme dasar kewartawanan itu sendiri, bahwa masyarakat berhak mendapatkan segala informasi yang benar.

Pekerjaan yang dijalani Rien memang tidak dengan senjata, namun risikonya yang tak kalah seramnya dibandingkan tentara yang bertugas di garis depan medan perang. Risiko yang nyata sudah dialami, sekadar menyebut beberapa nama, oleh David Pearl (terbunuh setelah lama diculik di Afghanistan), Robert Capa (tewas di Vietnam), Ersa Siregar (wartawan RCTI, tewas di Aceh), Ernie Pyle (tewas di Okinawa 1945), atau Larry Burrows (tewas di Vietnam). Bahkan di Irak pasca pendudukan AS, konon 70 orang lebih jurnalis meninggal dunia (independent.co.uk).

Risiko kematian boleh menghantui, tapi profesi wartawan memberi kesempatan menjadi saksi sejarah perjalanan umat manusia. Itulah yang membuat para jurnalis terpanggil untuk selalu berada di garda depan dalam konflik kekerasan antar bangsa yang disebut perang.

Jauh sebelum Rien Kuntari, ada Raden Mas Panji Sosrokartono. Dialah wartawan perang asal Indonesia pertama yang meliput Perang Dunia Pertama di Eropa. Setelah menjadi menjadi koresponden – dan menjadi satu-satunya calon yang lulus tes – pada harian The New York Herald, ia ditugaskan di beberapa negara, Belgia, Jerman, Prancis, Swiss, dan Austria, selama kurun waktu empat tahun (1914 – 1918).

Ia berhasil menurunkan artikel tentang proses penyerahan Jerman kepada Prancis. Perundingan antara Stresman yang mewakili Jerman dan Foch yang mewakili Prancis itu berlangsung secara rahasia dalam sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat.

Malaysia Joins Cream of the Crop in Health Destination

0

It seems that Malaysia never relents in its efforts to attract foreign tourists. After its success in promoting the country’s beauty through the “Truly Asia” campaign, now it is trying to increase its foreign income by netting customers, or patients to be precise, for its sophisticated hospitals.

Malaysia has for some time viewed and analyzed the success of Singapore in promoting itself as a medical destination. Just like Singapore, where Indonesians comprise 75 percent of foreign patients, Malaysia is also targeting Indonesians in its main strategy. By making Indonesia its main market, Malaysia will be competing head on with Singapore. Indonesia is indeed an attractive market as about 200,000 patients choose to have treatment abroad, with the entire business being worth at least US$600 million annually.

A number of foreign hospitals have affiliated with Indonesian hospitals to get a slice of the lucrative Indonesian market. One such Indonesian hospital is the Medika hospital group, which is a member of the Johor Medical Association or Kumpulan Perubatan Johor (KPJ) Healthcare Bhd Group of Hospitals, Malaysia. The Malaysian partner has invested in building the Medika Bumi Serpong Damai Hospital, which will be located close to Omni International Hospital.

KPJ Healthcare Bhd Group of Hospitals owns other hospitals, namely Medika Permata Hijau and Selasih Padang Hospitals. A number of other foreign hospitals have partnered with local hospitals and are also building new hospitals here.

Today Malaysia is among the top five medical destinations after Panama, which is No. 1, followed by Brazil, Costa Rica and India consecutively. Nuwire Investors Online data on investment opportunities indicate that the countries are ranked based on the quality and capacity of medical services and their willingness to accept foreign investors.

Malaysia offers a number of medical services and procedures, including dental, cosmetic and heart surgery at prices that are much lower than those in the U.S. For both foreign patients and investors, the rate for the Malaysian ringgit is also favorable, while the country’s economic and political situation are stable and the literacy rate is very high.

This Malaysian industry has grown significantly over the past couple of years, with the number of foreign patients in 2006 reaching 296,687 and an income of about US$59 million. The Malaysian Hospital Association predicts the number will grow by an average of 30 percent annually until 2010.

Hospitals-Malaysia.org claims that Malaysia offers a network of hospitals and clinics that are very comprehensive with 88.5 percent of the country’s population living within three kilometers of the clinics or private practitioners.

Sexiest Man Alive!

0

Ikon seksi kini bukan monopoli wanita, pria pun mempunyai peluang untuk meraih predikat tersebut. Apa yang membuat pria menjadi seksi? Jawabannya pasti amat sangat beragam. Yeng terang, kriterianya ternyata tidak hanya fisik semata, setidaknya itulah hasil polling Majalah ME Asia 2008.

Pencarian pria seksi di Indonesia agaknya belum sepopuler pencarian wanita seksi yang kontesnya sangat beragam. Memang beberapa majalah remaja secara berkala sudah menjaring para cover boy, majalah wanita pun sering menggelar pemilihan figur-figur pria idola. Tapi tetap saja itu hanya sebagai ajang tambahan dari hajatan utama yang lebih seru yang objeknya adalah wanita.

Tidak seperti di Amerika, misalnya. Majalah People, untuk menyebut contoh, mempunyai tradisi yang cukup panjang dalam pemilihan pria seksi, bahkan gemanya bisa menyebar ke seantero dunia. Siapa yang tidak tahu ketika aktor Matt Damon dinobatkan sebagai “Pria Paling Seksi” tahun 2007. Ia sebetulnya menolak julukan itu, tapi justru sikap bersahajanya tersebut makin menguatkan majalah tersebut memilih aktor kelahiran Massachusetts, 8 Oktober 1970 itu pada tempat pertama.

Photo by Scorpio Creative on Unsplash

Memang bukan tanpa alasan People menetapkan Damon sebagai pria terseksi di dunia. Ia dikenal sebagai bintang utama film serial “Bourne Identity” yang meraih sukses komersial dan tahun lalu membintangi dua film peraih Oscar, yakni “The Departed” dan “Syriana”. “Rasa humor Damon yang sukar dilawan, kerendahan hatinya dan statusnya sebagai lelaki yang mencintai keluarga yang begitu kokoh membuat dirinya sebagai pemenang yang logis,” tulis majalah itu.

Otomomatis, Damon menjadi orang ke-22 yang menerima julukan pria terseksi versi majalah People. Sebelumnya ada sejumlah nama populer, seperti aktor George Clooney (1997 dan 2006), Brad Pitt (1995 dan 2000), Ben Affleck (2002). Sementara Mel Gibson adalah pria pertama peraih gelar bergengsi tersebut pada tahun 1985.

Memang, kendati ada nama-nama Asia, pemilihan pria terseksi versi People tersebut terkesan ”Amerika centris”. Kandidatnya merupakan bintang-bintang tenar Hollywood. Secara kasat mata para aktor ini sudah terlihat ganteng dan berkarakter. Mungkin bukan susah mencari nominatornya, sebaliknya justru sulit mengeksekusi siapa yang harus dinobatkan menjadi pria terseksi di dunia.

Tapi yang bisa menjadi catatan, ternyata bukan hanya fisik semata, kriteria non fisik agaknya tidak kalah pentingnya. Itu yang terjadi pada kemenangan Damon, juga para pendahulunya.

Hal senada juga diungkapkan oleh John R. Ballew, M.S., L.P.C. Konselor dengan spesialis seksual, relationship dan spirit dari Atlanta Amerika itu menegaskan bahwa ketampanan saja tidak cukup menjadikan pria terlihat seksi, tapi tergantung dari cara ia merawat diri, berpakaian, berbicara, berpikir smart, bergaul, bahkan dalam memberikan kasih sayang pada keluarga dan pasangan.

12 ME Sexiest Men

0

1. Iwan Fals (Musisi)
2. Eros Djarot (aktor)
3. Mathias Muchus (aktor)
4. Ari Sihasale (aktor)
5. Arief Suditomo (news anchor)
6. Mario Wuysang (atlet basket ball)
7. Sandiaga Uno (pengusaha)
8. Takeshi Kanishiro (aktor)
9. Lin Dan (atlet bulu tangkis)
10. Chow Yun Fat (aktor)
11. Abhishek Bachchan (aktor)
12. Dr. Sheikh Muztapar (astronot, Malaysia)

(Source: ME July 2008)